Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (4): Harus Ngebut, Bisa Nyebrang

Menemui Dubes Irlandia sebagai bagian tugas I.G.A.K Satrya Wibawa (kiri) sebagai Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO. -I.G.A.K Satrya Wibawa-
Ketika pesawat saya mendarat di Charles de Gaulle pada 23 Desember 2024, saya tahu bahwa hidup saya akan berubah. Tugas menjadi Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO menuntut saya menjadi Parisian. Dua bulan pertama menjadi warga Paris, ada gegar budaya yang tak terduga.
Bahkan saya tidak menyangka itu terjadi sejak langkah pertama menapakkan kaki di trotoar Paris. Jadi bukan karena bahasa asing yang terdengar di telinga atau suhu musim dingin yang masih menusuk tulang. Justru gegar budaya itu muncul dari cara orang-orang Paris atau Parisian berjalan.
Di minggu-minggu awal, saya sering merasa seperti penghalang jalan. Parisian melesat di sisi kiri dan kanan saya, seolah-olah semua terburu-buru menuju sesuatu yang sangat penting—meski hanya menuju boulangerie di sudut jalan. Langkah mereka cepat, ritmis, dan penuh tujuan.
BACA JUGA: Daftar 10 Makanan dan Tradisi Kuliner Warisan Budaya Takbenda UNESCO
Saya yang terbiasa dengan ritme berjalan orang Indonesia—santai dan kadang sambil menengok ke kiri-kanan—merasa seperti kura-kura di tengah lomba lari maraton. Beberapa kali saya nyaris ditabrak, bukan oleh kendaraan, tapi oleh pejalan kaki lain yang sepertinya tak mengenal konsep ”alon-alon asal kelakon”.
Barangkali itulah sebabnya jarang orang Indonesia menang balapan di luar negeri. La, setiap pamitan ke orang tua, pasti dijawab, ”Iyo Le, ati-ati nang dalan. Ojok ngebut, alon-alon asal kelakon”. Yo nggak sido ngebut lah. Hahaha.
Tapi, pejalan kaki memang dimanja di Paris. Sekitar 40 persen dari luas jalan di Paris dialokasikan untuk trotoar. Sementara 60 persen sisanya untuk jalan kendaraan.
BACA JUGA: BRIN Usulkan Raja Ampat Menjadi Cagar Biosfer di Bawah MAB UNESCO
Paris dikenal sebagai kota yang ramah pejalan kaki dengan makin banyak area yang dipedestrianisasi. Contohnya Parc Rives de Seine memiliki panjang sekitar 7 kilometer dan dirancang khusus untuk pejalan kaki dan pesepeda.
Selain itu, berbagai distrik seperti Le Marais dan La Butte aux Cailles menawarkan jalan-jalan kecil yang nyaman untuk berjalan kaki.
β Menara Eiffel dari arah perjalanan menuju kantor UNESCO jiak ditempuh dengan jalan kaki. -I.G.A.K Satrya Wibawa-
Meskipun tidak ada angka pasti mengenai total panjang trotoar, komitmen Paris terhadap infrastruktur pejalan kaki tecermin dalam berbagai proyek pengembangan dan renovasi untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan pejalan kaki di kota ini.
BACA JUGA: 5 Cara Menghindari Social Comparison
Namun, saya menduga Parisian berjalan cepat karena musim dingin. Ketimbang lama kedinginan di jalan, ya mending ngebut bisa cepat sampai rumah yang hangat.
Tentu ditambah perspektif saya sebagai orang baru, seperti halnya wisatawan, jalan pelan agar bisa menikmati pemandangan. Toleh kiri kanan.
Bahkan berhenti ambil foto untuk Instagram. Tapi ternyata, hingga kini musim semi pun, saya masih sering balapan jalan. Hidup terasa lomba jalan cepat.
BACA JUGA: Prabowo Lantik 31 Orang Duta Besar RI Untuk Negara Sahabat, Ini Daftarnya!
Hal kedua yang membuat saya tertegun adalah cara menyeberang jalan. Dua tahun di Singapura cukup membuat saya menjadi disiplin dan sangat taat dengan lampu lalu lintas walau tidak ada polisi. Kalau lampu masih merah, walau jalan kosong melompong, saya tidak akan berani menyeberang. Tapi di Paris, semuanya buyar.
Saya menyaksikan orang-orang menyeberang meskipun lampu pejalan kaki masih merah. Awalnya saya pikir ini hanya satu dua orang yang terburu-buru. Tapi ternyata tidak. Hampir semua orang melakukannya—dengan santai tapi penuh kalkulasi. Sambil sesekali menoleh memastikan tidak ada mobil yang melaju kencang.
Selain pejalan kaki, pesepeda di Paris sangat dimanjakan. Seperti yang terlihat di kawasan Arc de Triomphe yang ikonik. -I.G.A.K Satrya Wibawa-
Saya berdiri terpaku di pinggir zebra cross, menunggu lampu hijau. Sementara arus manusia di sekitar saya sudah menyeberang duluan.
BACA JUGA: Jokowi Terima Surat Kepercayaan dari 10 Duta Besar Negara Sahabat
Saya merasa seperti orang asing—secara harfiah dan kultural. Kedua anak saya sering ngomel dan minta saya nggak ikutan bergerak. Mereka masih taat dengan kultur displin Singapura.
Beberapa kawan diplomat dari Belanda dan Jerman pernah bilang, hal ini tidak akan terjadi di negara mereka. Secara hukum, memang tidak boleh.
Tapi saya melihat ini lebih sebagai bentuk civil disobedience ringan yang menjadi semacam norma tak tertulis di kalangan warga lokal. Bukankah warga Perancis sering diasosiasikan dengan ”hobi” mogok dan demo?
BACA JUGA: Duta Besar Thailand dan Pemprov Jatim Jajaki Pengembangan Energi Baru Terbarukan
Dua hal ini—cara berjalan dan cara menyeberang—mungkin terdengar sepele. Sekaligus kontradiksi: tidak bisa ngebut dan tidak bisa mennyebrang. Tapi bagi saya, inilah simbol dari ritme hidup yang berbeda. Paris bergerak cepat, percaya diri, dan terkadang melampaui batas formal demi efisiensi.
Di balik keindahan arsitektur dan romantisme yang sering kita bayangkan, Paris juga menuntut ketegasan langkah dan adaptasi cepat.
Saya belajar bahwa menjadi bagian dari kota ini bukan sekadar bisa memesan croissant dalam bahasa Prancis, tapi juga tentang mengikuti ritme langkahnya.
BACA JUGA: Sah! Bahasa Indonesia Ditetapkan sebagai Bahasa Resmi ke-10 yang Digunakan dalam Sidang Umum UNESCO
Toh, saya mulai terbiasa. Saya belajar berjalan lebih cepat, meskipun masih sesekali terseret ritme lama. Saya mulai bisa membaca isyarat kendaraan dan tahu kapan waktu yang "aman" untuk menyeberang, meski lampu masih merah.
Saya mulai mengerti bahwa dalam kebiasaan-kebiasaan ini, tersembunyi cara berpikir masyarakat yang menjunjung efisiensi, kebebasan pribadi, dan tanggung jawab atas keputusan sendiri.
Jadi, gegar budaya tidak selalu datang dari hal-hal besar. Justru dari kebiasaan kecil sehari-hari—dari cara melangkah dan menyeberang jalan—saya belajar bahwa hidup di Paris mengajarkan saya cara baru untuk hadir, bergerak, dan berpikir.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (4): Beyond the Runway; Cerita dari San Francisco
Mungkin, itu justru inti dari proses menjadi bagian dari tempat baru: tidak hanya tinggal di kota itu, tetapi mulai bergerak dengan ritmenya. Termasuk dengan sepeda. Kalau ini, ada cerita tersendiri. (*)
Indeks: Paris, kota surga buat pesepeda. Baca besok…
Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Staf Pengajar Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga. --
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: