Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi: Kecut dan Gurih Merintis Jualan Tempe di Inggris

Untuk mulai membuat tempe, Mohammad Rozi memakai 3-5 kilogram kedelai sekali memasak.--
Belum sampai setahun di Birmingham (2012), kami berkesempatan pulang lebaran di Indonesia. Kesempatan ini tidak saya lewatkan untuk membawa ragi tempe dari Indonesia. Saya beli merk yang paling direkomendasikan "para ahli" tempe yang pernah saya tanya.
Sekembali ke Birmingham, saya mencoba lagi membuat tempe. Hasilnya, terkadang berhasil terkadang gagal.
Rupanya berhasil tidaknya membuat tempe disebabkan oleh banyak faktor. Bisa karena faktor proses pengasaman, kualitas ragi itu sendiri, suhu ruang, dan banyak lagi.
Setelah melalui berbagai percobaan, terutama penyediaan inkubator yang lebih baik, tingkat keberhasilan pun meningkat.
Tempe buatan saya sesekali saya perkenalkan kepada teman-teman dekat. Rupanya mereka senang. Pertama karena fresh, bukan frozen. Dan kedua, rasanya memang benar-benar enak dan gurih.
Mereka pun mendorong saya untuk membuat tempe lebih banyak, dan berjanji akan membantu mempromosikan ke teman-teman yang lain. Saya jadi semangat.
Saya mulai menawarkan tempe saya yang harganya lebih mahal dibandingkan yang di toko China. Jika di toko China harga per biji tempe saat itu euro 1,8, harga tempe saya euro 2,5.
Sengaja demikian, karena yang saya jual adalah nilai fresh-nya. Buka frozen.
Konsumen menerima dalam keadaan hangat dan aroma sedap. Dari sini, tempe buatan saya semakin dikenal oleh komunitas Indonesia, tidak saja di Birmingham. Juga sampai beberapa kota lain, seperti Bristol, Warwick, Southampton, dan lain-lain.(Mohammad Rozi-Bersambung)
*Alumni Pascasarjana UGM, Site Supervisor at King Edward Private School of Birmingham, tinggal di Birmingham, UK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: