Pameran Sastra Rupa Slamet Henkus: Legenda Itu Hidup

Pameran Sastra Rupa Slamet Henkus menghadirkan perpaduan kuat antara seni rupa dan sastra yang menyuarakan filosofi Jawa dan spiritualitas Islam secara utuh dan menggugah kesadaran budaya. -Anang Prasetyo-
HARIAN DISWAY - Tidak salah jika beberapa perguruan tinggi memiliki fakultas bahasa dan seni, karena keduanya sering kali menyatu padu. Seperti Pameran Sastra Rupa yang digelar oleh Cak Slamet Henkus yang berakhir pada 6 Juni 2025.
Pameran itu tidak pelak mampu menarasikan atau memvisualisasikan kedua bahasa ungkap itu secara apik dan estetis. Tidak banyak seniman perupa yang memiliki kemampuan berpikir filosofis, jernih secara kognitif, analitik, sekaligus paradigmatik.
Perupa yang mampu mengungkapkan gagasan secara satu kesatuan itu sangat jarang, bahkan bisa dibilang satu dalam sejuta. Masing-masing medium memiliki daya ungkapnya sendiri.
BACA JUGA: Resensi Novel Mawar Hitam; Antara Liku-Liku Trauma dan Ketimpangan Sosial
Kekuatan garis dan warna serta gelap terang menjadi padu padan dengan konsep dan gagasan. Cak Slamet Henkus mampu menarasikan secara lisan yang mengalir deras, secepat alur gagasan dalam jutaan pemikiran dalam kepalanya.
Jika ilmu diperoleh melalui proses yang panjang, maka Cak Slamet adalah contoh dari proses itu sendiri. Kosmologi Jawa, baik filosofi maupun laku, ideologi, ada dan mengejawantah dalam pergerakan kehidupannya.
Maka tidak salah jika penyematan Maestro kepada Maha Guru seni rupa, khususnya, layak disematkan kepada Cak Slamet. Sebab, tidak banyak seorang doktor yang notabene pencipta teori mampu mengetengahkan gagasan paradigmatik yang memiliki worldview (Islam) Jawa secara holistik integratif.
Pameran Sastra Rupa Slamet Henkus menghadirkan perpaduan kuat antara seni rupa dan sastra yang menghidupkan kembali nilai-nilai filosofis dan spiritual Jawa dalam wujud visual yang menyentuh dan bermakna. -Anang Prasetyo-
Sengaja saya menggunakan diksi worldview Islam, karena itulah yang membedakan dengan paham materialisme, komunisme, modernisme, dan sekian paham ideologi lainnya. Sementara Cak Henkus, sejauh yang saya pahami, mampu mendaraskan secara jernih letak Javanisch Worldview (alam pandang Jawa) tanpa harus menanggalkan Islamnya.
Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak budayawan yang kadang benci agama, demikian pula sebaliknya agamawan yang alergi dengan budaya. Marx membenci agama, dalam konteks karena para agamawan saat itu terjebak pada dogma yang menyempitkan pemahaman.
BACA JUGA: Hari Musik Nasional dan Ambisi Global: Indonesian Wave dan K-Pop?
Sementara nalar paradigma Jawa menempatkan Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Maha Esa, Sang Pencipta itu hidup dalam kesejatian orang Jawa. Manunggaling kawula dengan Gustinya, untuk tetap meniscayakan perbedaan makhluk dengan Khaliknya.
Pameran Sastra Rupa yang digelar oleh Cak Slamet Henkus tidak pelak mampu menarasikan atau memvisualisasikan kedua bahasa ungkap itu secara apik dan estetis. -Anang Prasetyo-
Jika menelisik pola pikir, pola jiwa, dan pola hidup Cak Slamet Henkus, seolah ketiganya menyatu. Analoginya, sebagaimana epistemologi Islam, antara Wahyu (kebenaran firman), Ro'yu (kebenaran rasio), Qolbu (kebenaran rasa) menjadi kebenaran tunggal, mengesa, nyawiji, jamiiy, tawhidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: