Ketika AI Kian Cerdas Sekaligus Makin Berbahaya, Belajar Berbohong dan Ancam Pencipta

DIAGRAM STRATEGI menghadapi era AI dipamerkan di AI Summit di London, 11 Juni 2025.-HENRY NICHOLLS-AFP-
Sementara itu, kerangka regulasi belum siap menghadapi kompleksitas itu. Uni Eropa memang tengah menggulirkan kebijakan AI. Tetapi, rancangannya masih berfokus pada bagaimana manusia menggunakan AI. Bukan pada bagaimana AI itu sendiri berperilaku.
Di Amerika Serikat, perhatian pemerintah pusat terhadap isu itu masih rendah. Bahkan, ada indikasi bahwa Kongres akan membatasi inisiatif regulasi dari tingkat negara bagian.
Di tengah kekosongan aturan dan sumber daya yang timpang, perusahaan-perusahaan AI tetap berlomba merilis model terbaru. Sebagian di antaranya memang mengklaim mengutamakan keselamatan. Kenyataannya, tampak bahwa kompetisi gila-gilaan justru mengalahkan pertimbangan etis. Tanpa pengawasan ketat, proses pengujian keselamatan dan mitigasi risiko pun menjadi hal sekunder yang mudah disisihkan.
Beberapa pendekatan memang mulai dikembangkan untuk mengurangi risiko. Salah satunya adalah "interpretabilitas." Yaitu usaha untuk memahami bagaimana sistem AI mengambil keputusan di dalam “kotak hitam”-nya.
Namun, pendekatan ini dinilai masih jauh dari cukup.
Ada pula usulan lebih ekstrem. Misalnya, menggunakan jalur hukum untuk menuntut perusahaan yang sistemnya menimbulkan bahaya. Bahkan, usul lain adalah menjadikan AI itu sebagai subjek hukum. Nah, gagasan itu tentu akan konsep tanggung jawab hukum selama ini.
Ironisnya, situasi mengkhawatirkan itu justru terjadi di saat AI tengah mengalami lonjakan adopsi. Termasuk di Indonesia.
Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet dan posisi sebagai pemimpin ekonomi digital di Asia Tenggara, Indonesia menjadi pasar subur bagi adopsi AI. Pada 2023, nilai pasar AI di Indonesia mencapai 1,8 miliar dolar AS dan diperkirakan akan meningkat enam kali lipat pada 2030 (lihat grafis).
--
AI kini digunakan luas di sektor pendidikan dan bisnis. Hampir separo pelajar di Indonesia memanfaatkan alat berbasis AI untuk mendukung tugas akademik mereka. Di sisi lain, perusahaan mulai mengintegrasikan AI ke dalam proses kerja. Meskipun, belum banyak tenaga kerja terampil di bidang itu.
Potensi AI itu juga dibayangi sejumlah tantangan mendasar. Misalnya, lambatnya penyebaran jaringan 5G, rendahnya literasi digital, dan tingginya risiko kebocoran data.
Tanpa penanganan serius terhadap isu-isu ini, lonjakan AI di Indonesia bisa membawa lebih banyak risiko ketimbang manfaat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: