Kok Tega!

Kok Tega!

ILUSTRASI Kok tega. Gerutuan saya mengenai frasa ”kok tega” berubah menjadi rasa syukur. Tak banyak orang seperti Dahlan Iskan, sebagai CEO, yang memberikan tugas secara langsung kepada staf. -Arya-Harian Disway-

BACA JUGA:Dari Taichi Hingga Senam Dahlan: Panggung Penuh Makna Ulang Tahun Harian Disway

Seusai tulisan dimuat, Pak Dahlan mendatangi meja saya sambil membawa koran. Saya pasrah. Ternyata yang terjadi di luar prediksi, ”Wah, tulisanmu bagus. Begini kalau cari angle.” Satu kalimat. Setelah itu, Pak Dahlan pergi. Saya hanya sempat berucap terima kasih.

Momen kok tega itu sering saya alami di masa saya sebentar menjadi wartawan dari akhir 1999 hingga Februari 2002. Semua proses saya ikuti. Menjadi wartawan adalah dream job buat saya yang aktif menjadi wartawan kampus di pers mahasiswa, Indikator, FE, Universitas Brawijaya. 

Namun, seperti cinta pada pandangan pertama atau nama kekasih yang tertulis di skripsi, terkadang malah umurnya tidak panjang. Termasuk karier saya sebagai wartawan. Pada 2002 saya mengundurkan diri dari tempat bekerja yang saya cintai.

BACA JUGA:Curhat Eri Cahyadi di HUT ke-5 Harian Disway: Pak Dahlan Iskan Guru Saya...

BACA JUGA:Sufmi Dasco-Raffi Ahmad Bertemu Dahlan Iskan di Kantor Disway, Ini yang Dibicarakan

Meski begitu, kagum dan hormat saya kepada Jawa Pos dan Pak Dahlan Iskan tak pernah luntur. Betapa banyak yang saya pelajari dari Pak Dahlan, walau saya yakin baru secuil, sangat berdampak pada hidup dan karier saya. 

Multitasking, disiplin, put all effort, menjadi sosok pembeda, orientasi hasil, tepat waktu, rapat harus efisien, dan selalu coba thinking out of the box

Pun, setiap saya mengalami kesulitan, muram, dan kehilangan semangat kerja karena melihat ekonomi atau nasib industri yang kelam, kalimat Pak Dahlan selalu menyemangati, ”Kok, mau kondisi ekonomi bagus atau jelek, kita tetap harus kerja keras. Mau 1 dolar setara 10 ribu atau 20 ribu, pilihan kita hanya kerja keras.” 

BACA JUGA:Pesan Dahlan Iskan untuk ICCWA di Perth: Jangan Balik ke Indonesia!

BACA JUGA:Peserta Disway Business Adventure with Dahlan Iskan Vol.2 Siap Jelajahi Wuhan-Chongqing

Saat ini kalimat Pak Dahlan mungkin dianggap toxic oleh sebagian masyarakat. Dianggap sebagai bagian dari hustle culture alias kerja keras bagai kuda dengan mengesampingkan hal-hal lain dalam kehidupan. Tapi, bagi saya saat itu sampai detik ini, kalimat-kalimat pendek Pak Dahlan itu membuat saya bangkit berkali-kali.

Gerutuan saya mengenai frasa ”kok tega” berubah menjadi rasa syukur. Tak banyak rasanya CEO perusahaan besar yang memberikan tugas langsung kepada staf, menyemangati, memberikan pujian, dan tentu saja teguran keras jika perlu. Saya sungguh bersyukur.

Hari ini saya begitu kaget dengan status tersangka yang disematkan kepada Pak Dahlan Iskan. Pak Dahlan adalah Jawa Pos, Jawa Pos adalah Pak Dahlan. Tapi, yang terjadi adalah Pak Dahlan dan Jawa Pos saat ini saling gugat dan berujung Pak Dahlan menjadi tersangka. 

Saya tak terlalu peduli apa yang terjadi hingga saling gugat. Saya hanya bergumam, kok tega. Pak Dahlan membangun Jawa Pos di era 1980. Menggeser budaya membaca koran sore menjadi pagi, membangun budaya kerja yang kuat dan tentu saja menghasilkan pendapatan yang peningkatannya eksponensial dari tahun 1980 hingga 2000-an. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: