ArtJog, Kanvas Heri Pemad

HERI PEMAD (kiri) bersama penulis (tiga dari kiri).-Arif Afandi untuk Harian Disway-
BACA JUGA:Cerita di Balik Film Dokumenter Bisikan Terumbu yang Tayang pada ARTJOG 2025
Selama 18 tahun, ArtJog melewati berbagai tantangan. Mulai krisis ekonomi hingga pandemi Covid-19. Saat banyak event budaya memilih berhenti, Heri tetap mencari cara agar ArtJog tidak padam. Kadang dengan format yang lebih kecil. Kadang dengan cara hybrid. Terkadang dengan dukungan kolektif. Yang penting, ArtJog harus tetap ada.
Spirit itulah yang membuat ArtJog bertahan. Heri sadar, Yogyakarta butuh ArtJog. Indonesia pun butuh ArtJog. Bahkan, dunia seni internasional kini menoleh ke Yogyakarta setiap bulan Agustus. Tak heran, banyak kurator dan kolektor asing yang menjadikan ArtJog sebagai pintu masuk mengenal lebih jauh seni kontemporer Indonesia.
ArtJog pada akhirnya memberikan bukti bahwa seni tidak selalu bisa diukur dengan neraca untung rugi. Ia adalah ruang imajinasi. Tempat nilai-nilai nonmaterial dianggap jauh lebih penting. Keuntungan material tetap diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. Namun, keuntungan terbesar bukanlah saldo bank. Tapi, kesempatan untuk terus menjaga spirit berkesenian.
ArtJog mengajarkan kepada kita bahwa seni adalah kebutuhan. Bahwa ada orang-orang yang rela berkorban demi sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan angka. Tapi, memberikan makna yang jauh lebih besar.
Dari situlah lahir legasi Heri Pemad, seorang seniman yang memilih menjadikan event sebagai karya utama dalam hidupnya. Ia menginspirasi orang lain untuk mengadakan event kesenian di tempat lain. Meski spiritnya belum tentu sama. Termasuk ArtSubs di Surabaya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: