ArtJog, Kanvas Heri Pemad

HERI PEMAD (kiri) bersama penulis (tiga dari kiri).-Arif Afandi untuk Harian Disway-
BACA JUGA:Sal Priadi Merasa Tertampar saat Mengunjungi Pameran Seni ARTJOG 2025
Sekarang ArtJog telah mendorong lahirnya ekosistem baru di dunia kesenian. Bahkan, sampai disebut sebagai lebarannya seniman. Saat ArtJog digelar, sejumlah seniman ikut pameran di beberapa tempat. Tahun ini ia juga menggelar Art Fair di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM.
”Karena pertama, baru berupa protofolio. Di GIK kami memamerkan karya-kaya seni rupa. Tahun pertama tentu belum menguntungkan. Tapi, saya optimistis ke depan lebih menghasilkan. Jadi, di ArtJog lebih bersifat ekspresi seni. Sedangkan di GIK lebih komersial,” terang Heri Pemad.
Ia akan mempertahankan ArtJog sebagai panggilan hidupnya sebagai seniman. Yang ia sebut sebagai kebutuhan. Baginya, ArtJog adalah cara ia untuk memenuhi dahaga spiritual dan intelektual. Karena itu, meski tidak menguntungkan secara finansial, ArtJog selalu lahir kembali. Seolah menjadi bagian dari napasnya sendiri.
BACA JUGA:Secret of Eden: Ketika Akar, Bunyi, dan Luka Alam Bersatu di ARTJOG 2025
BACA JUGA:Tender Notes Aditya Novali: Uang Kertas Jadi Arsip Bergerak di ARTJOG 2025
Kelak, kalau harus menyerah, tambahnya, ia mengaku masih mempunyai aset berupa brand ArtJog. Ia yakin, sebagai brand, ArtJog mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. ”Pada titik terakhir kelak, ArtJog bisa menjadi brand yang bernilai dan bisa dijual. Itu pilihan terakhir,” tambahnya yakin.
Salah satu hal paling khas dari ArtJog adalah keterbukaannya. Tidak ada sekat yang kaku antara seniman dan penonton. Antara kurator dan mahasiswa. Antara kolektor kaya raya dan anak muda yang baru belajar seni. Semua bisa hadir dalam satu ruang yang sama.
Itulah yang membuat ArtJog lebih dari sekadar pameran. Ia adalah ruang publik seni kontemporer, tempat ide-ide baru lahir, jaringan terbentuk, dan energi kolektif disalurkan. ”Buat saya, ArtJog itu kanvas,” ujarnya.
BACA JUGA:Dian Suci Rahmawati, Menyuarakan Politik Tubuh dan Rumah Lewat Instalasi di ARTJOG 2025
BACA JUGA:Seni Jadi Amalan: Kilas Balik ARTJOG dari Surabaya ke Yogyakarta
Bedanya, medium yang dipakainya bukan cat minyak atau pensil arang, melainkan jejaring manusia, karya, ruang, dan pengalaman kolektif. Hasil akhirnya bukan lukisan yang bisa digantung di dinding, melainkan peristiwa seni yang membekas di memori ribuan orang.
Yang patut dihargai dari ArtJog barangkali caranya dalam memaknai sebuah kesenian. Heri Pemad memperluas definisi seni. Ia menjadikan event sebagai karya. Ia tidak hanya mengorganisasi, tetapi sekaligus menciptakan pengalaman estetik yang tak tergantikan.
Dunia seni penuh dengan ketidakpastian. Banyak event seni besar yang hanya sempat digelar sekali atau dua kali, lalu mati di tengah jalan. Masalah klasiknya ada pada dana, sponsor, dan logistik. Tetapi, Heri Pemad membuktikan sesuatu yang berbeda. Konsistensi adalah karya seni itu sendiri.
BACA JUGA:Reza Rahadian Buat Karya Seni Eudaimonia di ARTJOG 2025, Terinspirasi dari Filsafat Yunani Kuno
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: