Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?

Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?

ILUSTRASI Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Mereka tidak malu asal comot aspek budaya lokal seperti primbon, gamelan, tarian, tembang Jawa, dan sebagainya dengan mengosongkan makna filosofis, historis, dan sosiologisnya, lalu mengisinya dengan satu narasi tunggal: ketakutan. 

Primbon, yang dalam konteks budaya Jawa merupakan sebuah sistem pengetahuan yang kompleks dan berisi nilai-nilai kearifan, dalam film horor direduksi menjadi sekadar ”buku pesakitan” yang mendatangkan kutukan. 

Kritik ini tepat sekali. Sebab, yang terjadi bukan sekadar simplifikasi, melainkan sudah menjurus pada apropriasi alias penistaan simbol-simbol budaya.

Penulis juga sependapat dengan analisis Muji Prasetyo dalam opininya yang membedah simbolisme Jawa dalam sinema horor. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana film KKN di Desa Penari berhasil viral dengan formula narasinya terfokus penggambaran ritual dan simbol budaya lokal. 

Sayang, penggambaran itu hanya dijadikan sebagai latar belakang eksotis untuk menciptakan kesan misterius tanpa upaya sungguh-sungguh memahami esensi sebenarnya. 

Simbol-simbol itu dilekatkan begitu saja untuk mendukung stereotipe ”budaya lokal adalah horor”. Seolah film-film itu justru menjadi kaca spion yang melanggengkan stereotipe dan ketakutan akan budaya lokal. 

Pada titik itulah apropriasi budaya tersebut benar-benar menjadi pelecehan. Ketika suatu sistem pengetahuan dan keyakinan yang dipegang teguh oleh suatu komunitas diperas habis-habisan demi komodifikasi industri budaya, yang terjadi adalah pemiskinan makna secara sistematis. 

Budaya mistis Nusantara pada akhirnya hanya dikenang oleh penonton sebagai alat untuk menakuti manusia, bukan sebagai bagian dari cara suatu masyarakat memahami alam, kehidupan, dan hubungannya dengan yang transenden.

MEMAHAMI KEMBALI PARADIGMA MISTIS DENGAN BENAR

Untuk memahami logika mistis yang sesungguhnya, kita harus keluar dari bioskop dan menyelami logika berpikir leluhur yang justru sangat rasional dengan caranya sendiri. 

Paradigma mistis dalam budaya lokal Nusantara pada hakikatnya bukanlah alat untuk menakuti, melainkan sebuah sistem pengetahuan yang canggih untuk menjaga keseimbangan alam dan sosial.

Mari kita lihat akar dari banyak larangan dan pantangan. Mengapa ada hutan yang disakralkan dan dilarang untuk dirusak? Jawabannya bukan karena semata-mata ada penunggunya yang galak. 

Logika mistis justru bekerja dengan lebih epik menjadi strategi konservasi alam yang genius. Dengan menyelubungi suatu tempat dengan aura sakral dan mistis, leluhur kita menciptakan mekanisme perlindungan yang jauh lebih efektif daripada sekadar peraturan tertulis. 

Tujuannya jelas. Yakni, generasi berikutnya tidak sembrono merusak sumber daya alam yang vital bagi kelangsungan hidup warga setempat. 

Pengalaman penulis saat meneliti etnohistoris Jaranan Mataraman di Blitar memberikan bukti nyata. Di sana terdapat sebuah tempat yang disakralkan dan selalu diritualkan setiap waktu tertentu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: