Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?

ILUSTRASI Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Apakah ritual itu dimaksudkan untuk menakuti warga dengan cerita hantu? Tidak sedangkal itu. Para tetua desa menyadari betul bahwa tempat tersebut adalah sumber mata air yang menjadi urat nadi kehidupan seluruh warga.
Secara historis, sumber air itulah yang menjadi alasan utama mengapa desa bisa dibangun di daerah tersebut.
Di sinilah letak local genius atau kearifan lokal itu berfungsi. Mistisisme adalah teknologi sosial yang dirancang untuk keberlanjutan. Logika mistisme adalah cara berpikir yang melihat manusia sebagai bagian dari alam.
Sungguh ironis, justru di era modernisme kapitalistis yang sering mengeklaim diri rasional, kita menyaksikan penghancuran alam secara masif. Kita lupa pada keseimbangan yang justru sangat dijaga oleh paradigma mistis leluhur.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita melihat sesuatu yang berbau mistis dan sakral tidak boleh lagi dipandang sebagai cerita hantu yang usang. Tetapi, harus dilihat sebagai local genius alias sebuah sistem pengetahuan yang cerdas, visioner, dan berorientasi pada kelestarian.
Mereka yang dengan gegabah menyebutnya ”kuno” atau ”takhayul” mungkin justru yang butuh dibukakan mata bahwa di balik mistis itu tersimpan logika ekologis yang sangat modern dan sangat kita butuhkan hari ini.
LOGIKA MISTIS VS KEMALASAN BERPIKIR
Kritik terhadap logika mistis sering kali disalahartikan sebagai penolakan mutlak yang berbau gaib. Padahal, para pemikir besar bangsa kita justru mengajak kita untuk melampaui dikotomi kaku antara logika dan mistis.
Mereka bukan antimistis, melainkan anti kemalasan berpikir yang bersembunyi di balik jubah keyakinan mistis.
Tan Malaka dengan gagasan Logika Mistika menawarkan sebuah sintesis dialektika yang visioner. Bagi beliau, jalan pikiran manusia tidak boleh berhenti pada tesis (logika materialistis Barat) atau antitesis (mistisisme Timur) saja.
Yang dibutuhkan adalah sintesis atau cara berpikir yang memadukan kejernihan nalar kritis dengan kedalaman spiritualitas dan intuisi.
Dalam konteks film horor, formula itu justru terbalik. Film-film tersebut terjebak dalam ”mistika” tanpa ”logika”-nya demi memanfaatkan ketakutan akan hal mistis tanpa pernah memberikan ruang bagi penonton untuk memahami sebab-akibat yang rasional atau konteks sosialnya.
Kritik yang senada dilontarkan Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia. Ia menyoroti kecenderungan kita untuk berpangku tangan pada takdir dan enggan menyelidiki sebab-akibat yang rasional.
Film horor adalah pengukuh kemalasan itu: ”Mengapa ia kesurupan?” ”Ya, karena ada hantunya.” Penjelasan selesai. Tidak ada ruang untuk mengeksplorasi tekanan psikologis, konflik keluarga, atau trauma sosial yang mungkin menjadi akar persoalan sesungguhnya.
Kedua tokoh bangsa itu pasti akan geram menyaksikan mistisisme yang seharusnya bisa menjadi jendela untuk memahami realitas yang kompleks, tetapi justru dijadikan sekadar menakuti penonton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: