Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?

Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?

ILUSTRASI Paradigma Mistis: Disakralkan atau Dijual-viralkan?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

INDUSTRI layar kaca Indonesia tampak tidak pernah lelah membanjiri bioskop dengan sajian horor yang menimbulkan ketakutan demi memikat penonton. Para sineas seolah berlomba mencetak karya viral dengan mengangkat kisah-kisah mistis Nusantara, terutama yang berakar pada tradisi dan budaya Jawa. 

Namun, di balik kisah sukses para pembuat film yang menjual cerita mistis itu, muncul pertanyaan mendasar yang seharusnya kita renungkan bersama. 

Apakah pantas budaya mistis direduksi sebatas horor menakutkan? Apakah jangan-jangan selama ini kita terjebak dalam ketakutan fiktif yang sengaja dikonstruksi layar lebar demi keuntungan semata, sambil mengabaikan makna asli dari sakralitas dan tradisi tersebut? 

BACA JUGA:7 Fakta Seru Film Perempuan Pembawa Sial, Didik Nini Thowok Hadirkan Elemen Mistis

BACA JUGA:Terinspirasi Ritual Mistis, Cahaya Pictures Bikin Film Horor-Komedi Pesugihan Sate Gagak

Jika demikian, tidakkah tindakan itu patut kita kritisi sebagai bentuk apropriasi budaya atau bahkan pelecehan terhadap warisan adiluhung leluhur kita? 

Tentu pertanyaan renungan tersebut sangat menarik untuk menjadi diskursus paradigma mistis yang jarang dibahas.

PELECEHAN BUDAYA MISTIS DEMI HOROR VIRAL?

Industri film horor Indonesia tidak lagi hanya terinspirasi, tetapi telah sepenuhnya mengadopsi sebuah formula standar eksploitasi budaya. Formulasinya adalah mengambil sebuah unsur mistis Jawa seperti primbon, ritual, wejangan, atau nama makhluk halus

BACA JUGA:Sinopsis Film Muslihat: Teror Mistis dan Kidung Mencekam di Panti Asuhan Terpencil

BACA JUGA: Sinopsis dan Daftar Pemeran Film Jagal Teluh, Kisah Mistis Mencekam yang Berbasis Kisah Nyata

Lalu, unsur itu dijadikan sebagai pemeran antagonis utama yang tidak memiliki kedalaman narasi selain bertugas untuk meneror. Yang terjadi bukanlah penghormatan, melainkan apropriasi budaya yang dangkal dan masif. 

Pola tersebut telah berulang sedemikian rupa sehingga unsur budaya sakral direduksi menjadi sekadar efek mengejutkan dalam narasi horor yang cetek.

Penulis sejalan dengan kritik yang digaungkan oleh Paksi Raras Alit dalam opininya yang mengkritik film Primbon. Tidak jarang para sineas kerap hanya mengambil ”tanda” (signifier) dari suatu budaya tanpa peduli pada ”yang ditandai” (signified). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: