Tantangan Dunia Perbukuan dan Budaya Baca Masyarakat

Tantangan Dunia Perbukuan dan Budaya Baca Masyarakat

ILUSTRASI Tantangan Dunia Perbukuan dan Budaya Baca Masyarakat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Tahun 1970-an pemerintah menggenjot dunia perbukuan dengan membeli banyak buku dari penerbit pemerintah dan dari penerbit swasta. Buku-buku tersebut disebar ke sekolah-sekolah, bersamaan dengan terbitnya instruksi presiden mengenai pendirian sekolah dasar di berbagai pelosok yang dikenal dengan nama SD Inpres. 

Meski demikian, upaya membudayakan membaca bagi masyarakat Indonesia juga bukan hal mudah. Beberapa pihak menyatakan bahwa budaya lisan lebih mengemuka daripada budaya tulis sehingga membaca tulisan dianggap menjemukan. 

Budaya membaca bisa dikatakan lebih berpusat di perkotaan karena sarana untuk hal tersebut lebih memadai, seperti keberadaan toko buku dan penerbit. Kondisi perekonomian masyarakat perkotaan yang lebih baik juga memengaruhi minat mereka terhadap bahan-bahan bacaan. 

Kebalikannya, masyarakat desa yang pada umumnya memiliki tingkat perekonomian yang relatif lebih rendah bisa dipastikan lebih mementingkan hal-hal yang lebih mendasar daripada bahan bacaan. Alhasil, budaya membaca masyarakat Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Mengenai rendahnya budaya membaca bisa dilihat dari jumlah buku yang terbit. Mengacu ke buku Sejarah Perbukuan: Kronik Perbukuan Indonesia Melewati Tiga Zaman yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2022), disebutkan bahwa pada 1990-an rata-rata penerbit Indonesia tidak mampu menjual buku yang mereka terbitkan di atas angka 3.000 eksemplar. 

Hal yang sama terkait dengan jumlah judul buku yang diterbitkan, selalu kurang dari 3.000 judul dalam satu tahun. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang sudah mencapai hampir 200 juta pada saat itu, angka-angka tersebut sangat kecil. 

Kita bisa melihat beberapa negara lain di Asia, misalnya, Malaysia (8.000 judul/tahun), Jepang (36.346 judul/tahun), serta Korea Selatan (43.000 judul/tahun), untuk periode yang sama.

Saat ini dunia perbukuan dan penerbitan secara umum berhadapan dengan dunia yang sudah berubah secara drastis. Salah satunya adalah hadirnya teknologi internet yang secara umum mengubah perilaku masyarakat secara umum. 

Internet saat ini menjadi teknologi yang dimanfaatkan secara personal, baik sebagai alat produksi maupun sebagai konsumsi. Salah satu produk internet yang ”mengganggu” budaya baca adalah produk hiburan (entertainment). 

Dengan peralatan yang sederhana dan berbiaya murah, hampir semua orang yang memiliki telepon genggam bisa membuat hiburan, baik dalam bentuk video maupun foto. 

Hadirnya hiburan pendek yang bisa diakses dengan mudah di telepon genggam menjadi tantangan berat bagi dunia perbukuan. Masyarakat Indonesia yang memiliki budaya membaca rendah makin meninggalkan buku dan berganti ke dunia hiburan di telepon genggam masing-masing.

Namun, dunia perbukuan tentu saja tidak boleh menyerah dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Masifnya teknologi informasi justru harus kita manfaatkan untuk melambungkan produk perbukuan dengan format yang berbeda, yang lebih diakrabi masyarakat. 

Dunia perbukuan harus bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang tengah terjadi. Hanya dengan cara itulah dunia perbukuan bisa tetap eksis. 

Dunia perbukuan harus mampu membuktikan bahwa apa yang disampaikan Tom Nichols tentang matinya perbukuan karena ditinggal pergi para tuannya, yaitu para ahli (expertise), tidak akan terbukti. (*) 

*) Purnawan Basundoro adalah guru besar ilmu sejarah dan ketua Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: