Tantangan Dunia Perbukuan dan Budaya Baca Masyarakat

ILUSTRASI Tantangan Dunia Perbukuan dan Budaya Baca Masyarakat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Ini Nih Tip Fery Farhati untuk Pemerintah dalam Mendorong Minat Baca Anak
Rendahnya minat baca tidak bisa dipisahkan dengan kondisi budaya masyarakat Indonesia secara umum.
Masyarakat Indonesia mulai mengenal bacaan baru awal abad ke-20, terutama sejak pemerintah kolonial mendirikan Komisi Bacaan Rakyat yang didirikan pada 1908, dan menjadi bagian dari kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan.
Komisi tersebut dalam perkembanganya bertransformasi menjadi Balai Pustaka pada 1917, dengan tugas utama melayani penerbitan dan penyebaran bahan pustaka.
BACA JUGA:Tumbuhkan Minat Baca pada Anak Sekolah, Ini Rencana Anies Baswedan
BACA JUGA:Gugah Minat Baca Anak
Balai Pustaka juga mendirikan Taman Pustaka (Volksbiblotheek) di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial di berbagai daerah. Buku-buku terbitan Balai Pustaka disalurkan kepada siswa-siswa sekolah melalui Taman Pustaka.
Penyaluran buku juga dilakukan dengan menggunakan mobil keliling sehingga bisa menjangkau masyarakat secara langsung. Sayang, berbagai langkah yang dilakukan pemerintah kolonial mengalami kendala saat Jepang menjajah Indonesia pada 1942–1945.
Saat itu kondisi Indonesia secara umum memburuk. Tingkat ekonomi masyarakat jatuh, kemiskinan terjadi di mana-mana, lembaga pendidikan juga sempat tersendat.
Situasi yang sangat tidak menguntungkan tersebut berlanjut pada awal kemerdekaan. Saat itu semestinya bangsa Indonesia langsung bisa memperbaiki kondisi yang rusak parah selama penjajahan Jepang.
Namun, beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda datang lagi yang segera disambut dengan perlawanan rakyat di mana-mana. Perang telah memperparah kondisi Indonesia dan tentu saja sangat memengaruhi budaya literasi masyarakat secara umum.
Jangankan memikirkan membaca buku, untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit.
Awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an menjadi periode yang sangat krusial terhadap perkembangan budaya literasi kita. Upaya membangkitkan budaya membaca menjadi tidak mudah karena dunia perbukuan tersendat-sendat.
Sebagian besar penerbit yang eksis pada masa kolonial adalah milik pemerintah dan perusahaan Belanda. Mereka mengalami kesulitan untuk beroperasi kembali karena alasan keuangan.
Upaya membangun penerbitan oleh pemerintah Republik Indonesia juga tidak mudah karena persoalan yang sama. Balai Pustaka yang telah diambil alih pemerintah juga terseok-seok karena harga kertas sangat mahal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: