52 Persen BUMN Masih Merugi, Bisakah UU Baru Selamatkan Mereka?

Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si. Ketua Persatuan Profesor/Gurubesar Indonesia Provinsi Jawa Timur, Guru Besar Universitas Ciputra Surabaya.-Dok Pribadi-Dok Pribadi
Revisi Undang-Undang BUMN yang baru saja disahkan DPR pada 2 Oktober 2025 menandai sebuah tonggak penting dalam sejarah tata kelola perusahaan milik negara di Indonesia. Fakta mengerikan: 52 persen BUMN masih merugi.
Mari bicara angka. Hingga 2024, ekosistem BUMN mencakup ±1.046 entitas (induk, anak, cucu). Ironisnya, lebih dari 52% entitas merugi, sementara 97% dividen negara hanya disumbang oleh delapan perusahaan raksasa: Pertamina, Telkom, Bank Himbara, dan segelintir lainnya.
Total aset BUMN memang fantastis: Rp10.950 triliun, tetapi potensi keuntungan belum merata. Data itu dilaporkan dalam berita ekonomi tahun 2025 yang disampaikan Dony Oskaria, pejabat Danantara (Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara).
Jika pola ini berlanjut, BUMN hanya akan menjadi “pahlawan kesiangan” yang menyokong APBN lewat dividen dari segelintir perusahaan, sementara ratusan entitas lain membebani fiskal.
BACA JUGA:Kritik Industri Umrah sebagai Jalan Perbaikan
BACA JUGA:Menyiapkan Input Pendidikan Tinggi dengan Seleksi Andal dan Berkeadilan
Risiko Lama yang Menghantui
Meski UU baru berusaha menambal banyak lubang, beberapa risiko tetap menghantui:
- Intervensi politik dalam penunjukan direksi dan komisaris masih mungkin terjadi;
- Empire building: anak-cucu usaha yang dibentuk tanpa perhitungan bisnis matang;
- PSO (Public Service Obligation) yang sering tidak dikompensasi penuh, membuat BUMN menanggung beban kebijakan pemerintah;
- Korupsi berjemaah dan fraud dalam pengadaan proyek strategis—dari citra buruk Jiwasraya hingga Garuda Airways dengan skandal penyelundupan Harley-Davidson, sepeda Brompton, pengadaan mesin dari Rolls-Royce/Airbus;
- Dugaan korupsi emas ilegal 109 ton di PT Antam.
Dan masih banyak kasus lainnya—semuanya telah membuktikan lemahnya sistem pengawasan di lingkungan BUMN selama ini.
Tanpa sunset clause atau aturan batas hidup bagi BUMN yang terus merugi (wajib diamputasi), jargon efisiensi bisa berubah menjadi pepesan kosong—apalagi jika para direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawasnya masih dapat tantiem.
Bagaimana parahnya profesionalitas dan rusaknya hati nurani penerima tantiem tersebut?
Harapan Publik: Dari Pemberdayaan UMKM & Koperasi hingga Transparansi
Harapan publik sederhana namun konkret:
- Perampingan portofolio: targetnya menurunkan jumlah entitas dari ±1.046 menjadi sekitar 300–400 agar lebih fokus.
- Kemitraan nyata dengan UMKM/Koperasi: transaksi lewat platform PaDi UMKM dan koperasi desa serta Koperasi Merah Putih diharapkan mencapai minimal 5–10% dari pengadaan non-strategis BUMN.
- Pemberdayaan ultra mikro (UMi): sinergi BRI, PNM, dan Pegadaian harus mampu membawa pelaku usaha rakyat (UMKM) naik kelas dan go global.
Sejak lahirnya UU No. 19 Tahun 2003, wacana perombakan menyeluruh selalu mengemuka. Kini, publik menaruh harapan besar: apakah BUMN akan benar-benar menjadi lokomotif pembangunan, atau tetap terjebak sebagai “sapi perah politik” yang melelahkan bangsa?
BACA JUGA:Perempuan Pedagang Mobil Bekas Dirampok-Dibunuh: Pelaku Sudah 'Menggambar'
Arah Baru: Dari Kementerian BUMN ke Badan Pengaturan BUMN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: