52 Persen BUMN Masih Merugi, Bisakah UU Baru Selamatkan Mereka?

52 Persen BUMN Masih Merugi, Bisakah UU Baru Selamatkan Mereka?

Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si. Ketua Persatuan Profesor/Gurubesar Indonesia Provinsi Jawa Timur, Guru Besar Universitas Ciputra Surabaya.-Dok Pribadi-Dok Pribadi

BP BUMN saatnya mengikuti Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises (SOE Guidelines) yang diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Pedoman internasional ini memberikan standar tata kelola perusahaan milik negara (State-Owned Enterprises/SOEs) agar lebih transparan, akuntabel, efisien, dan setara dengan perusahaan swasta.

Salah satu perubahan paling mencolok adalah transformasi Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN). Dengan status regulator sekaligus wakil pemilik, BP BUMN diharapkan mampu menjaga jarak dari intervensi politik yang kerap merusak profesionalisme.

Keberadaan BPI Danantara sebagai induk holding investasi juga digadang-gadang menjadi “Temasek ala Indonesia”, mengonsolidasikan ribuan entitas BUMN agar lebih ramping dan fokus pada core business-nya—tidak perlu membangun anak usaha hingga “cicit” tanpa kalkulasi matang, hanya agar direksi BUMN menjadi populer. Selama ini, jamak terjadi orang yang sama menjadi petinggi di induk sekaligus di anak BUMN.

Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah perubahan kelembagaan otomatis menjamin perbaikan tata kelola? Tanpa komitmen nyata terhadap independensi, pergantian nama bisa jadi hanya kosmetik.

BACA JUGA:FGD Bank Indonesia 2-3 Oktober 2025 (1): Melestarikan Cultural Heritage Melalui Tenun Endek

BACA JUGA:Quo Vadis Kapasitas Kebijakan MBG

Larangan Rangkap Jabatan: Pagar Etika atau Jebakan Baru?

Putusan Mahkamah Konstitusi 2025 Nomor 21/PUU-XXIII/2025 yang melarang pejabat negara merangkap jabatan komisaris atau direksi BUMN merupakan terobosan penting. Selama ini, laporan menyebut lebih dari 30 wakil menteri rangkap posisi di BUMN—situasi yang jelas menimbulkan konflik kepentingan.

Dengan larangan eksplisit, publik berharap nepotisme dan politik balas budi bisa ditekan. Namun, realitanya, “tekanan politik non-formal” tetap mengintai. Siapa yang menjamin bahwa penunjukan komisaris ke depan tidak lagi berdasarkan kedekatan dan “setoran” politik? Fit and proper test yang benar-benar profesional harus menjadi garis merah, bukan sekadar formalitas.

UMKM dan koperasi perlu distandarisasi kemampuan berproduksinya agar bisa menjadi mitra pemasok makanan, minuman, dan sebagian dari core business BUMN yang relevan.

Transparansi publik juga wajib ditegakkan: laporan triwulanan tentang belanja ke UMKM, jumlah anak usaha, dan kinerja direksi harus diumumkan secara terbuka. Kinerja keuangan dan non-keuangan masing-masing anak usaha BUMN pun harus dilaporkan secara transparan.

Total aset BUMN konsolidasi 2024: Rp10.950 triliun. Namun, kualitas aset yang tidak produktif (idle/low-return assets)—berupa tanah, gedung, atau investasi non-strategis yang kurang menghasilkan arus kas, masih tinggi. Banyak aset tercatat besar di neraca, tetapi tidak memberikan return yang memadai, sehingga terjadi rasio aset terhadap laba yang timpang (asset-heavy, profit-light). Banyak lahan BUMN menganggur.

Tanpa transparansi, semua perubahan dari BUMN menjadi BP BUMN hanya akan berakhir sebagai dokumen formal yang segera dilupakan—tanpa parameter yang jelas.

Belajar dari Dunia: Temasek, Equinor, Emirates

Indonesia tidak perlu jauh-jauh mencari inspirasi. BUMN negara lain yang sehat di domestik dan berjaya di global bisa menjadi contoh:

  • Temasek (Singapura) berhasil membangun portofolio global dengan governance yang ketat.
  • Equinor (Norwegia) sukses bertransformasi dari perusahaan minyak menjadi pemimpin energi terbarukan.
  • Emirates Airlines menjadikan Dubai sebagai hub global penerbangan.

Garuda Airways kita mau ke mana? Apa kuncinya? Profesionalisme, minim intervensi politik, dan mindset entrepreneurial serta intrapreneurial untuk go global.

BUMN Indonesia harus meniru jalan ini. Pertamina, PLN, dan Pelindo harus melihat Asia Tenggara dan dunia sebagai pasar—bukan sekadar jago monopoli di domestik. Di sini dibutuhkan para leader di BUMN yang visioner, memiliki kemampuan setara pebisnis sektor swasta, dan berjiwa entrepreneurial.

UU BUMN 2025 Ini: Momentum atau Ilusi?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: