Membangun Resiliensi Digital Pahlawan Devisa

Membangun Resiliensi Digital Pahlawan Devisa

Yayan Sakti Suryandaru & Angga Prawadika--Harian Disway

Narasi "Pahlawan Devisa" yang disematkan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) sering kali berhenti di gerbang kepulangan. Kita merayakan remitansi ekonomi yang mereka kirimkan. Namun, kerap abai terhadap realitas pelik yang mereka hadapi saat kembali menetap di tanah air.

Kepulangan bukanlah akhir dari perjuangan pun bagi banyak purnaPMI. Sebaliknya, itu adalah awal dari babak baru yang penuh tantangan. Terutama untuk membangun kembali kehidupan ekonomi yang stabil di tengah minimnya lapangan kerja formal yang sesuai.

Ironisnya, alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi desa dengan modal dan pengalaman kerja dari luar negeri, banyak dari mereka justru kembali terjerat dalam kemiskinan. Studi kasus di Ponorogo, Jawa Timur, menjadi cermin buram fenomena tersebut.

BACA JUGA:Khofifah Inginkan Ada Rumah Singgah PMI Asal Jatim

Hasil riset Desi Irma Triasari dan Pambudi Handoyo bertajuk Strategi Bertahan Hidup Mantan TKI Pria di Ponorogo: Studi pada Mantan TKI Pasca Pulang dari Luar Negeri (2021) menyoroti mantan TKI pria di Ponorogo mengalami kesulitan ekonomi signifikan pascakembali dari tanah rantau.

Kondisi rawan secara ekonomi itulah yang menjadi pintu masuk bagi berbagai masalah sosial turunan. Yang paling mengkhawatirkan adalah risiko Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Keterbatasan ekonomi, ditambah minimnya informasi migrasi legal, menjadi faktor pendorong utama yang membuat mereka dan keluarganya rentan tereksploitasi oleh agen-agen ilegal yang menawarkan iming-iming "berangkat gratis" atau "upah tinggi".

Paradoks Kepulangan

Masalah mendasar yang dihadapi purnaPMI adalah terputusnya rantai produktivitas. Selama di luar negeri, mereka merupakan pekerja aktif dengan pendapatan pasti. Sekembalinya ke desa, modal yang dibawa pulang–itu pun bila masih tersisa– sering kali cepat terkuras untuk kebutuhan konsumtif, tanpa dialokasikan untuk investasi produktif.

Di sisi lain, keterampilan yang mereka miliki, misalnya, operator mesin di pabrik Taiwan atau pekerja konstruksi di Malaysia, tidak selalu relevan atau terserap oleh pasar kerja lokal di Ponorogo.

Studi yang dilakukan Triasari dan Handoyo mengonfirmasi kenyataan pahit tersebut. Para mantan TKI pria terpaksa melakukan strategi bertahan hidup yang pasif.

BACA JUGA:Menteri Hukum Siapkan Mediasi untuk Dualisme Kepengurusan PMI

Mereka mungkin bekerja serabutan, bertani seadanya, atau bahkan bergantung pada sisa-sisa remitansi yang menipis. Status mereka sebagai kepala keluarga menambah beban psikologis dan ekonomi, menjadikan mereka kelompok yang rentan terhadap depresi dan frustrasi sosial.

Di sinilah lingkaran setan kerentanan dimulai. Kebutuhan ekonomi yang mendesak membuat mereka menjadi target empuk jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Materi edukasi pencegahan TPPO, seperti yang dilakukan dalam pengabdian masyarakat di Ponorogo, sangat penting untuk menyadarkan mereka terhadap bahaya agen ilegal dan modus penipuan berkedok tawaran kerja.

Namun, edukasi preventif saja tidak cukup jika akar masalahnya, yaitu kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja, tidak ditangani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: