Taylor Swift Merebut Ophelia

Taylor Swift Merebut Ophelia

ILUSTRASI Merebut Ophelia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

ADA sesuatu yang menakjubkan dalam cara Taylor Swift menulis ulang sejarah. Kita semua tahu siapa dia: penyanyi, penulis lagu, dan ikon global. Swift adalah arsiparis kontemporer di masa kini. 

Dari Fearless ke The Tortured Poets Department, dia tidak hanya mengubah cara kita mendengarkan musik, tapi juga cara sebuah generasi melihat diri dan menyikapi realitas. Dan kini, ia muncul kembali lewat The Fate of Ophelia, sebuah klip video yang nyaman di telinga dan sedap dipandang mata.

Musik video itu menyatukan fragmen-fragmen seni lukis klasik Barat dan ”menjahit ulang” dalam konteks kekinian. Swift tampil sebagai penyanyi, sutradara, kurator, sekaligus kritikus. 

BACA JUGA:Taylor Swift Rilis MV The Fate of Ophelia, Kisahnya Jadi Happy Ending

BACA JUGA:Makna Lagu The Fate of Ophelia Karya Taylor Swift yang Terinspirasi Hamlet

Dia menafsir ulang sosok-sosok perempuan yang selama berabad-abad dikurung dalam bingkai patriarki: dari Ophelia karya Millais dan Heyser hingga The Sirens and Ulysses karya Etty serta Beata Beatrix karya Rossetti. 

Semua itu dia rangkai dalam bahasa sinematik yang elegan, metaforis, sekaligus subversif. Cantik sekaligus cerdas!

Dalam drama Hamlet karya Shakespeare, dia tenggelam di sungai setelah kehilangan kendali atas hidupnya, akibat pengkhianatan cinta dan tekanan sosial. Millais menangkap momen itu dalam lukisan abad ke-19 yang ikonik: tubuh muda yang terapung di antara bunga-bunga, wajahnya tenang seolah menyerah kepada takdir. 

Namun, di balik ketenangan itu, ada ironi yang getir, Ophelia menjadi indah justru ketika sudah mati. Ketika Swift menampilkan dia di dalam air, bergaun putih pucat, dengan kelopak bunga mengambang di sekelilingnya, dia seolah bertanya: mengapa perempuan harus hancur dulu, baru dianggap ”ada”?

Swift tidak sedang meniru Millais. Dia sedang mengoreksi sejarah. Dalam versinya, air bukan lagi kubur, melainkan ruang refleksi, tempat perempuan menatap bayangan sendiri, menyadari luka-luka yang diwariskan, dan perlahan menolak tenggelam. 

Gerakan tangannya yang lembut di bawah permukaan air menjadi metafora perlawanan dalam sunyi: lembut, tapi sadar.

Sekitar lima dekade setelah Millais, Friedrich Heyser melukis Ophelia yang lain (lebih simbolis dan melankolis). Bunga-bunga di sekitarnya melambangkan siklus hidup sekaligus kematian, harapan sekaligus kehilangan. 

Dalam interpretasi Heyser, Ophelia seperti berada di ambang dunia dan surga, antara fana dan abadi. Swift meminjam bahasa itu, dalam tatapannya yang kosong tapi tenang, menjadikannya alegori penyembuhan. 

Bagi Swift, kejatuhan bukan akhir, melainkan awal dari kebangkitan. Narasi Ophelia direbut kembali menjadi metafora penyembuhan perempuan dari trauma kolektif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: