Ketika Uang Belajar Sabar

Ketika Uang Belajar Sabar

ILUSTRASI Ketika Uang Belajar Sabar.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Fokus Literasi Ekonomi dan Keuangan Syariah

Yang pertama lahir dari energi politik –semangat untuk membangun dan mempercepat. Ia adalah nadi dari setiap janji kampanye.

Yang kedua lahir dari kebijaksanaan sejarah –kesadaran bahwa tidak semua yang cepat itu baik dan tidak semua yang menunggu itu malas.

Dalam bahasa Latin klasik, voluntas agendi berarti kehendak untuk bertindak –impuls manusia untuk menaklukkan waktu. Tanpa itu, dunia akan beku. Namun, setiap kehendak butuh penuntun: sapientia expectandi, ’kebijaksanaan untuk menunggu’.

BACA JUGA:Uang Korupsi untuk Safari Politik

BACA JUGA:Fikih Keuangan Global

Yang satu mendorong tangan bekerja, yang lain menjaga hati agar tidak tergesa-gesa. Tanpa voluntas agendi, negara jadi museum niat baik. Tapi, tanpa sapientia expectandi, negara berubah menjadi pabrik kesalahan.

Dalam sejarah Indonesia, dua prinsip itu bergantian menguasai panggung. Orde Baru menekankan sapientia expectandi: stabilitas, keteraturan, dan birokrasi yang serbahati-hati. Pembangunan berjalan rapi, tapi sering kehilangan ruang spontanitas dan inovasi.

Lalu, datang Reformasi 1998, yang mengalirkan semangat voluntas agendi. Daerah diberi otonomi, setiap kepala daerah ingin bergerak cepat, menandai zamannya dengan pembangunan. Air yang dulu tertahan di bendungan pusat kini mengalir ke sungai-sungai kecil bernama APBD daerah. Kadang lancar, kadang meluap.

Kini dua arus itu kembali bertemu. Pemerintah pusat ingin percepatan. Serapan anggaran harus tinggi, roda ekonomi harus berputar. Daerah sebaliknya, belajar dari pengalaman krisis dan memilih berhati-hati. 

Mereka tahu bahwa setiap angka di APBD bukan hanya soal belanja, melainkan juga soal resiliensi fiskal: kemampuan bertahan dalam musim kering dana transfer.

Di sinilah muncul paradoks yang menarik: negara ingin cepat, daerah ingin cermat. Pusat melihat uang di bank sebagai kelambanan, sedangkan daerah melihatnya sebagai napas cadangan.

Maka, ketika menteri keuangan menegur, dan sekda Jatim menjelaskan, sesungguhnya yang sedang terjadi bukan pertentangan, melainkan dialog antara dua kebijaksanaan: voluntas agendi dari pusat dan sapientia expectandi dari daerah.

Analogi yang paling sederhana mungkin seperti petani di musim hujan pertama. Yang tergesa menanam segera, benihnya bisa busuk karena tanah belum siap. Tapi, yang terlalu lama menunggu pun kehilangan waktu tanam. Maka, petani yang bijak bukan yang cepat atau lambat, melainkan yang tahu kapan tanah siap menerima air.

Begitu pula dengan fiskal daerah. Kadang uang memang harus ”diam” sejenak untuk bekerja dalam diam: menunggu proyek siap lelang, menanti administrasi matang, atau mengantisipasi fluktuasi dana pusat. Uang yang diam belum tentu malas. Bisa jadi ia sedang belajar sabar, menyerap kebijaksanaan waktu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait