Trubus Rahardiansyah: Ucapan Ahmad Sahroni Bukan Penghinaan, Hanya Penjelasan Soal DPR

Trubus Rahardiansyah: Ucapan Ahmad Sahroni Bukan Penghinaan, Hanya Penjelasan Soal DPR

Ahli Sosiologi, Trubus Rahardiansyah menanggapi pernyataan anggota nonaktif DPR Ahmad Sahroni dalam Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.-Intan Afrida Rafni-

JAKARTA, HARIAN DISWAY - Ahli Sosiologi, Trubus Rahardiansyah menanggapi pernyataan anggota nonaktif DPR Ahmad Sahroni dalam Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Ia menilai bahwa ucapan Sahroni tidak mengarah ke bentuk penghinaan ataupun ujaran kebencian.

"Walaupun di situ ada kata tolol yang diviralkan, itu menurut saya lebih ke menyampaikan bahwa tidak mungkin DPR dibubarkan. Jadi apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni bukan suatu ucapan kriminal ataupun kebencian,” ujar Trubus dikutip dari Youtube DPR, Senin, 3 November 2025.

Menurutnya, pernyataan Sahroni hanya sebagai bentuk penjelasan bahwa DPR tidak bisa dibubarkan. Hal itu karena Indonesia tidak menganut sistem parlementer.

BACA JUGA:Warga Kembalikan 32 Buah Barang Milik Ahmad Sahroni yang Dijarah

Trubus menyatakan bahwa banyak pihak yang menggiring opini publik. Tujuannya agar masyarakat keliru dalam memahami konteks peryataan tersebut.

“Ini kan sebenarnya arahnya ke sana. Tapi kemudian dipahami (berbeda) karena itu tadi, manipulasi. Makanya di Pasal 35 UU ITE itu kan dilarang orang memanipulasi dan mengubah-ubah itu," Jelas Trubus.

Trubus menjelaskan pontensi manipulasi sangat rentan terjadi pada penggunaan teknologi (society 5.0). Dia menegaskan, hal itu sangat dilarang karena menyalahi aturan perundang-undang-undangan pasal 25 UU ITE.

Pakar analisis perilaku, Gustia Aju Dewi juga sepakat terkait manipulasi. Menurutnya potongan-potongan informasi kini digunakan untuk membentuk persepsi publik yang keliru.

BACA JUGA:Rusdi Masse Resmi Gantikan Ahmad Sahroni Jadi Wakil Ketua Komisi III DPR RI

“Zaman sekarang perang bukan lagi dengan senjata api, tapi senjatanya informasi yang diselewengkan, bisa dipotong. Jadi 90% kebenaran itu bukan kebenaran, karena ada 10% yang tidak dimasukkan sehingga informasi tersebut menjadi disinformasi,” ujar Gustia Aju.

BACA JUGA:Tegas! Partai NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR

BACA JUGA:Ijazah Sahroni Bocor, Nilai Rata-rata SMP Cuma 6

Gustia menegaskan bahwa para penyebar DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian) dapat dilacak dengan teknologi digital forensik, termasuk untuk mengetahui siapa yang pertama kali menggulirkan narasi manipulatif di media sosial.

“Siapa yang menggulirkan sampai sekarang belum terungkap. Sebenarnya dengan teknologi AI itu mudah dilakukan digital forensik, Yang Mulia, untuk ditelusuri siapa yang pertamakali mengeluarkan narasi-narasi DFK,” ujar Gustia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: