Tebu Tebang Subuh
DEWAN Komisaris Danantara mengunjungi kebun tebu PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) di Kuala Madu, Sumatera Utara. -Dokumen SGN-
ADA pertanyaan penting di tengah gencarnya upaya pemerintah dalam memperbaiki industri gula nasional. Mengapa kinerja BUMN gula yang milik pemerintah kalah jika dibandingkan dengan pabrik gula milik swasta?
Pertanyaan itu layak muncul. Karena melihat kinerja BUMN gula yang kini diwakili PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) sebagai anak perusahaan PTPN Group. Tahun ini kinerja SGN memang kurang menggembirakan. Produktivitas meningkat, tetapi secara keuangan menurun.
Faktor anomali iklim penyebabnya. Munculnya rembesan gula impor di pasar tradisional dan harga gula internasional yang turun jadi sebab lainnya. Transformasi kelembagaan BUMN gula juga belum tuntas. Semua itu mengakibatkan serapan pasar gula petani terganggu di awal giling.

ILUSTRASI tebu tebang subuh.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Pelbagai terobosan telah dilakukan. Misalnya, tebang tebu sejak subuh untuk mengatasi hujan berkepanjangan. Meski berdampak pada biaya tebang muat angkut (TMA). Karena harus menyediakan penerangan dan biaya lembur. Peningkatan protas tebu juga butuh waktu.
Sejak penggabungan 36 pabrik gula milik PTPN Group ke SGN, upaya menata ulang industri gula nasional telah dilakukan.
Diikuti dengan Perpres 40/2023 tentang Percepatan Swasembada Gula dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang secara khusus menunjuk PTPN sebagai leading sector.
BACA JUGA:Tebu Kelola
BACA JUGA:Bagi Hasil Tebu Emas
Restrukturisasi di perusahaan milik negara itu sebetulnya bukan sekadar upaya turn around korporasi. Ia mengemban misi besar untuk menata ulang ekosistem industri gula nasional. Ekosistem yang telah lama terdistorsi rezim importasi gula dan disorientasi tata niaga yang kronis.
Kita tahu, kebijakan importasi gula selama lebih dua dekade ini telah menggerus fondasi ekonomi rakyat berbasis tebu.
Logika pasar bebas membuat gula impor yang datang dari negara dengan biaya produksi jauh lebih efisien jadi pilihan. Apalagi, masuk ke negeri kita tanpa kontrol yang memadai.
Akibatnya, harga gula petani domestik tertekan. Pabrik gula (PG) BUMN kehilangan daya saing. Kemitraan antara petani dan PG negara retak. Di lapangan lahir lembaga baru bernama pok-pokan: pedagang tebu pemburu rente di antara petani dan pabrik gula yang cenderung mengabaikan kualitas bahan baku.
Kondisi itu makin kompleks dengan hadirnya pabrik gula swasta modern. Beroperasi dengan efisiensi tinggi dan sistem kemitraan berbasis transaksional. Tanpa tambahan luas lahan bahan baku. Alih-alih memperkuat ekosistem gula nasional. Kehadiran mereka sering kali menciptakan dualisme pasar tebu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: