Fenomena Fatherless Country: Ketika Peran Emosional Ayah Jarang Dibahas di Indonesia
Banyak anak Indonesia yang tumbuh dengan figur ayah yang “jauh” secara emosional. -svetikd -Istock
Ada beberapa faktor yang menjelaskan mengapa fenomena fatherless begitu lekat dalam masyarakat Indonesia. Berikut ini di antaranya:
1. Budaya Patriarki dan Peran Tradisional
Dalam sistem sosial Indonesia, peran ayah masih sangat dikaitkan dengan status pencari nafkah. Sementara, peran ibu adalah pengasuh anak.
Pembagian peran yang kaku ini membuat ayah sering kali merasa cukup berkontribusi selama kebutuhan finansial keluarga terpenuhi, tanpa menyadari pentingnya dukungan emosional dan komunikasi yang hangat dengan anak.
BACA JUGA: Peran Ayah sebagai Role Model dalam Keluarga
BACA JUGA: Cara Menjalankan Gentle Parenting di Era Modern yang Penuh Tantangan
2. Jam Kerja dan Tekanan Ekonomi
Banyak ayah yang bekerja lebih dari delapan jam atau bahkan merantau jauh dari keluarga. Gaya hidup ini menyebabkan waktu bersama anak dan keluarga menjadi terbatas.
Ketika pulang ke rumah, rasa lelah membuat interaksi keluarga hanya sebatas rutinitas tanpa ada kedekatan emosional.
3. Kurangnya Edukasi Parenting untuk Ayah
Pendidikan parenting di Indonesia lebih sering ditujukan untuk ibu. Akibatnya, banyak ayah yang tidak memiliki bekal pengetahuan tentang bagaimana membangun hubungan emosional yang sehat dengan anak, atau bagaimana menjadi role model positif dalam keluarga.
BACA JUGA: Menjadi Ayah di Era Modern: Tantangan, Harapan, dan Kebahagiaan dalam Fatherhood
BACA JUGA: Koala Parenting, Menekankan Kedekatan Orang Tua dan Anak
4. Representasi Sosial dan Media
Dalam film, iklan, dan sinetron, figur ayah sering digambarkan sebagai sosok tegas, pekerja keras, dan jarang mengekspresikan kasih sayang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: