Fenomena Sharenting, Jejak Digital Anak dan Batas Etis Orang Tua

Fenomena Sharenting, Jejak Digital Anak dan Batas Etis Orang Tua

ILUSTRASI Fenomena Sharenting, Jejak Digital Anak dan Batas Etis Orang Tua.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Paparan publik sejak dini juga berpotensi memengaruhi cara anak memahami privasi, batas personal, dan citra pribadi. Dampaknya mungkin tidak terlihat langsung, tetapi dapat terasa seiring bertambahnya usia anak.

MENUJU PRAKTIK SHARING YANG LEBIH BIJAKSANA 

Melarang sharenting secara total memang bukan pilihan yang realistis. Dokumentasi visual tetap menjadi bagian alami dari dinamika keluarga modern. Yang lebih mungkin dilakukan adalah mengembangkan praktik berbagi di media sosial dengan lebih hati-hati. 

Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan ialah menghindari unggahan yang memperlihatkan wajah anak secara jelas, lalu menghapus informasi pribadi seperti lokasi, rutinitas, atau nama sekolah anak, memilih foto dan video yang tidak mempermalukan atau mengobjekkan anak, dan menjaga agar dokumentasi tetap menghormati martabat dan kenyamanan anak di masa depan. 

Pendekatan semacam itu memberikan ruang aman bagi anak tanpa meniadakan kebutuhan keluarga untuk mendokumentasikan kenangan. 

Sharenting alangkah baiknya tidak dipandang hanya sebagai kebiasaan berbagi momen bersama anak. Sebab, praktik itu beroperasi dalam sistem digital yang menyimpan dan mengedarkan jejak informasi tanpa batas waktu. 

Setiap unggahan membentuk arsip yang kelak menentukan bagaimana seorang anak dikenali, dibaca, dan bahkan dinilai oleh dunia luar. Jika pengalaman masa kecil dianggap sebagai ruang yang perlu dilindungi, pengelolaan jejak digital menjadi bagian dari tanggung jawab itu. 

Menahan diri tidak berarti menutup kebahagiaan, tetapi menegaskan bahwa privasi anak adalah nilai yang perlu dijaga dan diperjuangkan sejak awal kehidupannya. 

Pada sisi lain, sharenting tidak muncul begitu saja. Praktik itu dipengaruhi oleh budaya digital yang menghargai visibilitas sebagai bentuk validasi. Keinginan menunjukkan kedekatan emosional sering bercampur dengan dorongan untuk hadir dalam arus percakapan daring. 

Dalam kondisi seperti itu, unggahan tentang anak berubah menjadi simbol kehangatan keluarga sekaligus penanda performatif tentang bagaimana orang tua ingin terlihat oleh lingkungannya. 

Tanpa disadari, logika mekanisme kerja media sosial memberikan insentif bagi pola sharing semacam itu melalui berbagai fitur seperti rekomendasi FYP postingan serupa, ingatan unggahan tahunan, dan peningkatan keterlibatan pengguna. 

Dorongan eksternal itu membuat batas antara ekspresi kasih sayang dan produksi konten menjadi makin kabur. 

Selain itu, konsekuensi sharenting tidak hanya bersifat abstrak atau jangka panjang. Dalam kehidupan sehari-hari, jejak digital anak dapat memengaruhi relasi sosialnya sejak usia sekolah. 

Foto atau video yang tampak lucu dan menggemaskan bagi orang dewasa bisa menjadi sumber rasa malu atau tidak nyaman ketika anak mulai membangun identitasnya sendiri. 

Representasi yang sudah telanjur beredar juga sulit dikendalikan kembali, bahkan ketika anak telah memasuki usia yang mampu menentukan preferensinya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: