Humas: Merawat Rasa, Menjaga Reputasi

Humas: Merawat Rasa, Menjaga Reputasi

ILUSTRASI Humas: Merawat Rasa, Menjaga Reputasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

DULU tugas lembaga humas (public relations/PR) itu seperti ”penjaga pintu” rumah besar: menentukan informasi apa yang keluar, kalimat mana yang aman, kapan harus bicara, dan kapan cukup diam. Rilis pers disiapkan rapi, konferensi pers digelar, lalu kita berharap agar publik menerima versi resmi sebagai cerita tunggal.

Namun, hari ini pintu tersebut sudah beranak-pinak, bahkan kadang tanpa pintu. Cukup satu kamera ponsel, potongan video singkat, satu caption yang ”kena emosi”, lalu narasi bergerak sendiri. Di era digital, humas tidak lagi memegang kendali narasi secara tunggal. 

Publik dan platform ikut menulisnya, mengoreksinya, membesar-besarkannya, bahkan menghakiminya. Bukan karena humas lemah, melainkan karena medan komunikasi berubah: dari panggung resmi menjadi percakapan terbuka.

Karena itu, profesi humas tak bisa terus hidup sebagai pengelola rilis. Ia harus naik kelas: dari manajemen informasi menjadi tata kelola relasi. Dari sekadar ”menyampaikan” menjadi ”menghubungkan”.

NARASI TAK LAGI MILIK HUMAS

Di media sosial, cerita tentang sebuah institusi tidak lahir dari meja humas saja, tetapi juga dari percakapan: komentar warga, unggahan pelanggan, potongan video, thread, meme, hingga tangkapan layar. Kita bisa mengumumkan, tetapi publik menentukan bagaimana pengumuman itu dimaknai. Pun, platform menentukan seberapa jauh ia tersebar.

Henry Jenkins, ahli budaya digital, menyebutnya sebagai participatory culture: publik bukan penonton pasif, melainkan partisipan yang ikut memproduksi dan menyebarkan makna. Bahasa sederhananya: organisasi bisa menulis ”niat”, tetapi publik menulis ”rasa”. Dan, dalam dunia yang serbacepat, rasa sering lebih dulu dipercaya daripada niat.

Masalahnya, algoritma platform punya logika sendiri: ia mengangkat yang memantik reaksi. Karena itu, ketika isu muncul, narasi biasanya mengerumun pada sisi emosionalnya. Yang ditarik bukan sekadar fakta, melainkan kemarahan, kekecewaan, rasa tidak adil, rasa terancam. 

Humas atau PR yang masih berpikir ”cukup jelaskan prosedur” sering gagap. Sebab, publik tidak sedang mengejar prosedur, tetapi publik sedang mengejar rasa dihargai dan rasa aman.

Di sanalah humas perlu menerima kenyataan: kendali narasi kini tersebar. Bukan berarti humas tidak berguna. Justru sebaliknya: humas dibutuhkan untuk memandu percakapan agar tidak liar, memastikan ada ruang penjelasan yang manusiawi, dan membangun jembatan antara fakta dan rasa.

PRESTASI TAK CUKUP, PUBLIK MINTA KEHADIRAN YANG LEGITIMATE

Banyak organisasi yang masih mengandalkan etalase citra: penghargaan, angka capaian, foto seremoni, daftar program. Itu penting, tetapi tidak lagi cukup. Publik kini menuntut kehadiran yang legitimate –yang relate, terasa dekat, bisa diajak bicara, dan konsisten.

Ukuran kehadiran yang legitimate itu sederhana. Apakah institusi hadir saat warga bingung? Adakah respons ketika publik bertanya? Adakah ruang dialog ketika kritik datang? Apakah institusi mendampingi atau sekadar tampil?

Dalam praktik pelayanan publik, kita sering melihat ironi: programnya bagus, tetapi saluran komunikasinya membuat orang kesal. Proyeknya jalan, tetapi kanal pengaduan seperti tembok: ada, tetapi tidak memberikan rasa didengar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: