Reinventing Indonesia

Selasa 10-05-2022,04:00 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

LIBUR panjang Lebaran telah memberikan ruang untuk mengamati banyak hal. Mulai perbincangan politik di media sosial sampai dengan merasakan kemacetan akibat mudik massal.

Sebetulnya pengalaman macet dan berita kemacetan membuat malas keluar. Akibatnya, lebih banyak gabut di dalam rumah. Silaturahmi pun hanya yang terdekat. Itulah yang bikin punya waktu melirik cuitan dan status media sosial.

Beberapa hari, media sosial dipenuhi dengan cuitan akhir Ramadan. Juga, didominasi informasi mudik dan berbagai hal terkait Lebaran. Soal update informasi, banyak hal berseliweran di lapak-lapak mereka.

Yang menarik soal politik. Perdebatan tentang kenegaraan itu lebih diwarnai perdebatan yang seakan tiada berakhir antara pendukung tokoh politik. Di jagat maya, politik identik dengan personifikasi tokoh.

Mengapa bisa demikian? Barangkali akibat sistem pemilihan langsung. Baik untuk presiden maupun kepala daerah. Pemilihan langsung memungkinkan melahirkan politikus idola. Menjadikan figur presiden maupun kepala daerah sebagai idol dengan pendukung masing-masing.

Proses penciptaan idol tersebut tentu dengan banyak cara. Yang pasti, ada proses branding dan rebranding. Proses membentuk citra dari masing-masing figur yang menerjuni dunia politik. Lebih jauh lagi, sistem itu bisa melahirkan politik fandom. Fans dari figur politik masing-masing.

Perubahan sistem politik dari demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung one man one vote itu bersinggungan dengan demokratisasi akses informasi akibat revolusi digital. Revolusi teknologi informasi yang melahirkan berbagai platform dan media sosial.

Wajah politik Indonesia, baik di jagat nyata maupun jagat maya, sebetulnya hasil dari ”perselingkuhan” sistem politik yang baru dengan revolusi teknologi informasi. Lahirnya buzzer politik merupakan keniscayaan yang tak mungkin dielakkan.

Persolannya, akankah masa depan bangsa ini hanya akan ditentukan perubahan teknologi dan sistem politik yang seperti ini? Perlukah ada desain kebudayaan yang memungkinkan realitas politik baru yang memberikan kebaikan bagi kemanusiaan?

Tampaknya, pertanyaan itu sudah saatnya menjadi bahan perbincangan baru dalam pembangunan politik kita. Diperlukan reinventing Indonesia dalam tatanan dunia baru yang berubah dengan cepat.

Sebab, dalam kenyataannya, demokratisasi sistem politik dan akses informasi belum bisa mengubah peradaban politik kita. Setidaknya itu terihat dari masih maraknya penggunaan idiom-idiom pengelompokan politik yang malah bisa dianggap terdegradasi jika dibandingkan dengan masa lalu kita.

Personifikasi orientasi politik itu disertai identitas kelompok dukungan. Idiom yang dipakai pun tidak menunjukkan tentang kemajuan peradaban manusia. Tetapi, identifikasi kelompok dengan nama binatang.

Misalnya, kelompok kadrun dan cebong. Kadrun adalah idiom yang berarti kadal gurun. Itu merujuk kepada kelompok yang menggunakan agama sebagai identitas politik. Dengan personifiksi politik yang itu-itu juga.

Sementara itu, cebong menjadi identifikasi politik para pendukung pemerintah. Kalau kadrun lebih menunjukkan sebagai oposisi dan berbau identitas keagamaan, cebong menjadi identifikasi kelompok politik penguasa dan NKRI.

Politik identitas sebetulnya sudah muncul sejak negeri ini lahir. Hanya, di masa lalu, politik identitas terlembaga ke dalam partai politik. Bahkan, sumber identitas itu menjadi ideologi partai politik. Tidak kepada person per person dari tokoh politik.

Misalnya, Partai Masyumi dengan ideologi Islam. Demikian juga partai-partai sejenis yang muncul di awal kemerdekaan RI. Antropolog yang juga indonesianis kenamaan Clifford Geertz menyebutnya dengan politik aliran.

Basis sosial berdasarkan aliran itu mewujud dalam gerakan politik melalui partai politik. Ia membaginya menjadi tiga kelompok: priayi, abangan, dan santri. Kalaupun ada irisan dukungan politik itu bisa diidentifikasi ke dalam tiga kelompok tersebut.

Presiden Soeharto mengukuhkan politik aliran itu dalam pemerintahannya. Ia menyederhanakan partai menjadi hanya tiga. Golkar sebagai partai penguasa lebih merepresentasi politik priayi, PDI mewadahi aspirasi abangan, dan PPP sebagai wadah politik santri.

Identifikasi pendukung kelompok politik dengan nama-nama hewan dan benda sebetulnya bukan barang baru. Namun, dulu lebih terkait dengan lambang partai politik. Karena memang ada parpol yang berlambang binatang seperti PDI yang berlambang kepala banteng.

Kalaupun ada sebutan lain, itu lebih kepada kebiasaan kelompok tersebut. Misalnya, pendukung PKI menyebut kelompok politik santri dengan sebutan Kaum Sarungan untuk menunjuk para konstituen Partai NU.

Sebutan bernada ejekan untuk kelompok santri – khususnya NU – itu kini tak lagi muncul ke permukaan. Selain karena mobilitas kelompok tersebut yang pesat dalam tiga dekade belakangan, juga percakapan politik bergeser ke identifikasi nama binatang.

Tentu, kemerosotan budaya politik yang tecermin dari sebutan kelompok politik itu tak mungkin terus dibiarkan. Harus ada kesadaran baru untuk membangun kebudayaan politik baru yang lebih manusiawi. Yang bisa menjamin keberlangsungan bangsa sekaligus meningkatkan martabatnya.

Tapi, bagaimana memulainya? Dengan cara apa? Tunggu tulisan lanjutan minggu depan. (*)

Kategori :