Seorang di antara empat begal pria yang ditangkap di Bekasi berusia 15 tahun. ”Ia anak di bawah umur, malah jadi otak sekaligus eksekutor korban,” kata Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan kepada pers Rabu (25/5).
TIGA begal dipamerkan di gelar perkara di Polda Metro Jaya pada Rabu (25/5). Inisial mereka DAR, 21; AP, 21; dan DA, 21. ”Satu yang masih anak di bawah umur tidak kami tampilkan di sini,” kata Kombes Zulpan. Meski usia segitu, mereka sudah enam kali membegal di Bekasi. Sebagian korban yang melawan dibacok celurit. Zulpan menjelaskan, mereka selalu beroperasi dengan dua motor. Mengincar pemotor yang sedang melaju atau di tempat parkir. Komposisi pelaku, DAR dan AP sebagai sopir motor, mereka sebut joki. DA dan A yang diboncengkan. Tugas joki, melarikan motor dengan cepat. Menyelinap di kemacetan lalu lintas. Lolos dari kejaran publik. Tugas yang diboncengkan, sebagai eksekutor, mengancam korban dengan celurit, lalu merampas motor korban. Zulpan: ”Kalau korban melawan, pelaku akan melukai korban dengan celurit. Seperti korban terakhir, inisial M, yang terluka.” Korban lalu melapor ke polisi. Kemudian, belum sampai 24 jam, para pelaku diringkus. Pelaku memilih korban. Baik motor yang sedang melaju maupun di tempat parkir. Kalau korban melaju, dipepet motor pelaku, sambil diancam celurit. Namun, kebanyakan korban ditodong di tempat parkir. Lalu, motor korban dibawa kabur. Dengan modus begitu, mereka selalu berhasil merampas motor korban. Pemaparan Zulpan itu menandakan bahwa para pelaku tidak sembarangan memilih korban dan lokasi penodongan. Pemilihan lokasi di tempat parkir, berarti pelaku sudah mengamati calon korban. Gerak-geriknya. Posturnya. Memastikan, bahwa korban takut dan tidak melawan. Sebab, tujuan mereka bukan melukai, melainkan merampas motor. Lokasi juga jadi perhitungan para pelaku. Mereka pasti memilih lokasi yang relatif sepi. Pelaku sudah punya kriteria calon korban. Penentuan calon korban, mereka putuskan saat mengintai calon korban. Martin F. Wolfgang dalam bukunya, Victim Precipitated Criminal Homicide (1957) memaparkan, perampok punya gambaran calon target. Mereka tidak memilih korban secara acak. Makin sering merampok, para penjahat jadi ahli menentukan calon korban. Buku Wolfgang mengulas viktimologi (ilmu tentang korban kejahatan). Viktimologi adalah anak kriminologi (ilmu tentang kejahatan). Di viktimologi diperinci tipologi calon korban kejahatan. Dengan mengetahui itu, orang bisa waspada agar tidak jadi korban kejahatan. Menurut Wolfgang, penjahat maupun korban umumnya tidak mempelajari viktimologi. Penjahat dan korban mengalir begitu saja. Penjahat belajar dari pengalaman kejahatannya. Korban tidak pernah belajar, jika sekali waktu ia jadi korban kejahatan. Di bukunya, Wolfgang menyebutkan, ada orang yang menarik bagi perampok untuk dijadikan korban. Itu disebut victim precipitator. Profil khas yang menarik minat perampok untuk menjadikan orang itu sebagai korban. Buku itu mengulas hasil riset. Di New York, Amerika Serikat (AS), pada 1950-an. Riset tersebut terkenal di kriminologi. Yang kelak dikonter dengan teori baru. Di riset itu New York Police Department menyewa tim riset, untuk mengetahui, apakah penodong dan perampok memilih target mereka? Asumsi awal peneliti, diduga, penjahat punya pola untuk menentukan calon korban. Teknisnya, seorang perampok berpengalaman yang dipenjara dikeluarkan dari sel. Ia diberi tahu petugas, disuruh menodong di suatu tempat di luar penjara. Namun, ia dalam pengawasan ketat polisi. Penjahat dibawa mobil polisi, berputar keliling kota, agar penjahat memilih lokasi penodongan. Lalu, penjahat menentukan, di depan supermarket yang tidak terlalu ramai. Mobil berhenti, penjahat bebas keluar dari mobil. Tim polisi mengintai di seputar wilayah itu. Penjahat mengamati orang-oarang yang belanja. Akhirnya, ia menentukan target. Seorang pria agak gemuk. Didekati, ditodong pisau. Tak sampai lima detik, korban menyerahkan semua isi kantongnya. Jam tangan, dompet, dan barang belanjaan yang dibawa. Penjahat merampas. Lalu, membentak korban agar berjalan cepat, tanpa menoleh. Kejadian itu direkam kamera polisi dari lokasi yang tak terlihat penjahat dan korban. Setelah kejadian itu, penjahat kembali dimasukkan mobil polisi. Dan, polisi mengembalikan barang-barang yang dirampok kepada korban. Itu semacam syuting film yang tidak diketahui sebelumnya oleh penjahat dan korban. Kejadian itu diulang-ulang oleh tim peneliti. Pelakunya berganti-ganti penjahat. Kemudian, mereka menganalisis para korban. Maka, dihasilkan profil ”victim precipitator”. Hasil riset, diulas bentuk atau profil calon korban. Mereka adalah yang gerakannya lambat. Matanya tidak jelalatan (suka mengamati sekeliling). Jalan tidak tegap. Langkah tidak lincah. Baik untuk korban pria maupun wanita. Uniknya, pria atau wanita kurus dihindari penjahat (sebagai calon korban). Sebaliknya, pria atau wanita besar, tinggi kekar, ditarget sebagai korban. Ternyata, pertimbangan penodong adalah kecepatan lari calon korban. Orang yang kira-kira larinya cepat tidak dijadikan korban. Sebab, ada kemungkinan korban akan mengejar pelaku. Wolfgang: ”Ini sama dengan hewan predator di alam liar. Mereka punya stereotipe khas calon mangsa. Mereka mengincar hewan paling rentan di kelompoknya. Perampok bersenjata juga sama. Mereka memilih calon korban yang tidak gesit. Kalau perlu, yang jalannya agak terseok.” Menurutnya, penjahat sudah cukup berpengalaman dengan tiga kali menodong. Itu batas reputasi mereka untuk disebut ”berpengalaman”. ”Setelah melewati tiga kali perampokan, mereka memilih calon korban dalam hitungan detik. Dan, biasanya korban tidak melawan,” tulisnya. Begal Bekasi sudah enam kali membegal motor. Pada korban keenam, mereka ditangkap polisi. Merujuk teori Wolfgang, mereka masuk golongan berpengalaman.Terpenting bagi masyarakat, pelajari riset di atas. Supaya Anda tidak jadi ”victim precipitator”. (*)