Guru Bangsa

Sabtu 28-05-2022,00:31 WIB
Oleh: Jagaddhito Probokusumo

OKTOBER 2016. Itulah kali pertama saya mengenal Buya Syafii Maarif secara langsung. Waktu itu sedang ramai-ramainya masalah pilgub DKI. Kami dari Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) ingin mengundang beliau sebagai pembicara mengenai kesehatan sebagai bagian dari ketahanan nasional.

Namun, setelah berdiskusi dengan berbagai stakeholder, karena suatu hal dan yang dikhawatirkan akan membuat situasi kampus makin runyam, dengan berat hati beliau harus ditangguhkan sebagai pembicara.

Padahal, saya sudah telanjur menghubungi beliau. Dan beliau sudah menyanggupi datang ke Surabaya.

Maka, sebagai bentuk pertanggungjawaban, saya berangkat ke Yogyakarta untuk meminta maaf. Beliau sangat memahami hal itu. Beliau meminta saya untuk mengikuti arahan kampus karena posisi saya masih sebagai mahasiswa.

Dari situ kali pertama saya melihat sifat kenegarawanan beliau.

BACA JUGA: Buya Syafii Maarif Berpulang, Sempat Tolak Jadi Wantimpres Jokowi

Ketika saya sampai di rumah beliau, ada beberapa polisi yang menjaga rumah beliau. Banyak pihak yang khawatir akan keselamatan beliau. Yakni, soal pernyataan beliau tentang kasus penistaan agama.  

Buya sendiri tidak meminta dijaga polisi. Namun, ada pihak lain yang ingin menjaga beliau karena khawatir jika ada suatu hal yang mengancam keselamatan beliau.

Beliau menyambut saya di depan pagar dan menanyakan, ”Bagaimana perjalanannya dokter muda? Anda pasti capek. Ayo, ayo, kita makan dulu.”  

Beliau pun mengajak saya dan beberapa polisi yang menjaga rumah beliau ke warung tongseng tidak jauh dari rumah beliau. Saya masih ingat makanan yang beliau pesan.

Rupanya, beliau sudah menjadi pelanggan di warung tongseng itu. Jika kita memesan tongseng daging, beliau sudah punya kegemarannya sendiri, yaitu tongseng paru. Saya sendiri kaget karena usia Buya yang sudah 81 tahun (waktu itu), tapi masih ”berani” dhahar tongseng paru.

B ACA JUGA:  Buya dan Kisah Tiga Pendekar

Setelah itu, beliau menyampaikan kepada saya, ”Anda tahu mengapa saya menyanggupi permintaan Anda untuk mengisi acara di Surabaya?” Saya jawab tidak tahu. Beliau menambahkan, ”Saya suka dengan nama lengkap Anda, Jagaddhito Probokusumo, nama yang unik,” kata Buya. Saya hanya tersenyum sekaligus bersyukur atas nama yang diberikan ibu dan bapak saya.

Buya menambahkan, ”Anda ingat baik-baik sila ke-5 Pancasila. Itu poin paling penting bagi Anda sebagai seorang dokter. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai dokter, Anda tidak diperkenankan memilah-milah pasien Anda. Begitu juga dengan sila ke-5.

Hampir semua masalah yang ada di Indonesia akarnya adalah ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Mayoritas kekayaan Indonesia hanya dikuasai segelintir orang dan tidak merata. Itu menjadi PR Anda ke depan dalam mengisi pembangunan di Indonesia. Ingat baik-baik sila ke-5 Pancasila.” Begitu pesan Buya kepada saya.

Saya juga ingat di usia beliau yang saat itu 81 tahun, beliau masih menyetir sendiri mobil beliau. Ketika saya bertanya, ”Mengapa tidak memakai sopir saja?” Beliau menjawab, ”Tidak perlu.” Rupanya, beliau masih mampu mengendarai mobil sendiri. Beliau tidak ingin merepotkan orang lain.

BACA JUGA: Senyum Mujahid Syafii Maarif

Setelah itu, hubungan kami makin dekat sebagai murid dan guru. Berkali-kali Buya membantu kami. Terutama dalam penanganan pandemi Covid-19. Beliau memberikan support dan doa kepada kami, para dokter. Termasuk di acara doa bersama untuk memperingati gugurnya 100 dokter pada September 2020 (per Maret 2022 ada 751 dokter yang meninggal, data dari tim mitigasi PB IDI).

Beliau sempat menyampaikan pesan terbuka untuk presiden yang bunyinya, ”Yang Mulia Presiden Republik Indonesia, sebagai salah seorang yang tertua di negeri ini, batin saya menjerit dan goncang membaca berita kematian para dokter yang sudah berada di atas angka 100 dan tenaga medis lain yang juga wafat dalam jumlah besar pula. Mohon perhatian dari bapak Presiden agar memerintahkan Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter ini. Jika begini terus, bangsa Indonesia bisa oleng karena kematian para dokter setiap harinya dalam tugas kemanusaiaan di garis terdepan. Kelalaian adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.”

Beliau juga turut hadir dan mendorong warga Yogyakarta bergotong royong untuk menangani pandemi Covid-19. Beliau mendukung penuh maklumat rakyat Yogyakarta yang dicanangkan Sri Sultan Hamengkubuwono X mengenai ”Jogja Satu, Bangkit Bersama” dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Terakhir, saya akan selalu mengingat pesan dari Buya Syafii Maarif ini. ”Saya senang Bung Jagaddhito berperan aktif dalam melawan Covid-19 yang penuh risiko. Hati-hati. Maarif.”

Buya tahu bahwa anak muda sering menggebu-gebu dan berapi-api sehingga kita diingatkan untuk hati-hati dalam melangkah ke depan.

Indonesia saat ini berduka karena kehilangan sosok guru bangsa, sosok yang sederhana dan santun. Sosok yang berwawasan luas dan menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak banyak tokoh seperti beliau yang perkataan, perbuatan, dan kesehariaannya senada. Semoga beliau husnulkhatimah dan amalan beliau menjadi amal jariah seterusnya. Amiinn amiinn yaa rabbal’alamin. (*)

Kategori :

Terkait

Selasa 31-05-2022,06:00 WIB

Post Muhammadiyah Buya Syafii

Sabtu 28-05-2022,07:00 WIB

Jogja Kehilangan Teladan

Sabtu 28-05-2022,00:31 WIB

Guru Bangsa

Sabtu 28-05-2022,00:08 WIB

Senyum Mujahid Syafii Maarif

Jumat 27-05-2022,17:04 WIB

Buya dan Kisah Tiga Pendekar