Kira-kira seperti itu yang dipikirkan Yoo Na-bi. Untungnya, Yang Do-hyeok punya pemikiran yang sama. Waktu ia melihat Na-bi masih mencari-cari Park Jae-eon di galeri seni, ia tahu peluangnya sudah habis. Ia memilih melepaskan Na-bi. Daripada berhubungan dengan cewek yang tidak sungguh-sungguh mencintai dirinya. So, ini sebenarnya win-win solution.
Karakter Tidak Berkembang?
Banyak penonton tidak sabar menonton Nevertheless. Salah satu alasannya, pace drama ini lambat sekali. Konflik bergulir pelan-pelan. Angle kamera, editing, dan sinematografi seperti diseret. Sudah begitu, tone yang dipilih adalah warna-warna hangat. Cokelat kayu, orange, dan berbagai layer putih. Bikin ngantuk, memang.
Tone itu hanya berubah cerah saat Na-bi bertemu Park Jae-eon. Cowok itu suka mengenakan baju berwarna ungu. Kontras di layar seketika naik dengan tajam dan indah. Ketika ungu bertemu dengan langit malam, hijaunya pepohonan—entah di halaman kampus atau di jalan—dengan merah bata bangunan di sekitarnya. Mata jadi segar.
Di drama ini, kita tidak akan menemukan konflik yang tajam di level narasi. Semua pergulatan tersimpan di hati setiap karakter. Mereka diwujudkan lewat ekspresi, pilihan tindakan, dan kata-kata yang irit tapi menusuk. Tokoh-tokohnya lebih suka memberikan silent treatment alih-alih melampiaskan kemarahan dengan saling berteriak.
Karakter Yoo Na-bi yang melankolis kadang terasa boring. Dia lambat membuat keputusan. Dan tidak langsung bangkit saat jatuh. Dia pasif, dan selalu tampak sedih. Kadang kita bertanya-tanya, gadis yang wajahnya mencureng melulu kok bisa punya banyak teman, ya?
Beberapa karakter pendamping justru lebih lively. Ada Oh Bit-na (Yang Hye-ji) yang centil, bossy, dan seksi. Seo Ji-wan (Yoon Seo-ah) juga bubbly dan imut. Bahkan, kalau sama-sama pendiam, Yoon Sol (Lee Ho-jung) yang tomboy dan brilian itu lebih berkarakter.
Di atas segalanya, kritik yang paling kencang buat Nevertheless adalah soal pengembangan karakter. Dari awal sampai akhir, Yoo Na-bi kok begitu-begitu saja. Tidak jadi lebih pintar. Tidak lebih kritis terhadap perasaan dia sendiri. Sementara Park Jae-eon bisa berubah dari playboy kelas kakap menjadi cowok yang mempelajari arti cinta dan ketulusan.
Tapi, ketika menghadapi situasi seperti itu, bisakah kita berkembang? Bisakah kita berubah? Dan perubahan macam apa yang bisa diharapkan? Ketika berurusan dengan hati, yang ada malah stuck selama berbulan-bulan. Coba tanya kepada orang-orang yang gagal move on, bahkan setelah bertahun-tahun.
Penulis skenario Jung Won dan sutradara Kim Ga-ram dengan cermat menangkap semua itu. Dan meramunya dengan begitu pas. Hingga karakter Na-bi seolah jalan di tempat. Padahal, sekali lagi, itu sangat realistis. Bukan Na-bi yang salah. Kita saja yang terlalu berharap pada cewek yang sedang jatuh cinta. Kita tahu sih, nevertheless… (Retna Christa)