PEMKOT akhirnya meminta bantuan Kejaksaan Negeri Surabaya untuk menyudahi konflik Hi-Tech Mall. Sudah dua setengah tahun gedung itu tanpa pengelola. Pedagang yang menempati tak tahu harus membayar ke mana.
Sebenarnya sudah tidak ada lagi Hi-Tech Mall di Surabaya. Nama itu otomatis hilang setelah pemkot tidak memperpanjang kerja sama build operate transfer (BOT) dengan PT Sasana Boga sejak 31 Maret 2019.
Pemkot mencari investor baru. Nilai sewa gedung dibanderol Rp 19.440.750.000 per tahun. Tak ada yang mau. Terlalu mahal. Fasilitas gedung juga banyak yang rusak. Lift dan eskalator mati. Pendingin ruangan tidak berfungsi. Kerusakan dinding terjadi di sana sini. Gedung itu juga harus dicat luar dalam jika ingin dikomersialkan lagi.
Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Surabaya membahas lagi masalah itu di Komisi A DPRD Surabaya kemarin (23/9). Mereka melapor bahwa pedagang belum membayar biaya sewa sejak masa peralihan 2019. ”Aturannya, sewa tidak bisa diberi keringanan, sementara pedagang maunya diberi keringanan bayar. Ya, tidak ketemu,” ujar Kepala DPBT Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu kemarin.
Keringanan itu hanya bisa berlaku dengan sistem retribusi. Masalahnya, gedung eks Hi-Tech Mall tersebut belum dimasukkan daftar objek retribusi pemkot yang dicantumkan di peraturan daerah (perda).
Sejak 2019 belum ada kontrak perjanjian antara pemkot dan 298 pedagang yang masih bertahan. Namun, Yayuk mengatakan, pedagang sudah membuat surat pernyataan. Mereka siap membayar jika pemkot sudah menentukan nilai sewa.
Setelah angka keluar, pedagang menilai angkanya tidak masuk akal. Mereka kompak tidak mau bayar. Masalah bergulir sampai tahun ini. Karena itulah, pemkot melibatkan jaksa pengacara negara untuk mencari solusi. "Meski belum bayar, mereka tetap boleh berjualan. Sambil kita menunggu jaksa pengacara negara menyelesaikan permasalahan ini,” ujar mantan Kabag Hukum Pemkot Surabaya itu.
Koordinator Pedagang Hi-Tech Mall Ruddy Abdullah menegaskan, pedagang tidak menolak membayar sewa. Mereka hanya mempertanyakan mengapa angka sewa tersebut sangat mahal. ”Sedangkan fasilitas yang kami dapat minim sekali,” ungkapnya.
Sejak ditinggal PT Sasana Boga, banyak fasilitas yang belum diperbaiki. Yang paling terlihat adalah elevator dan lift yang tidak berfungsi sama sekali. Pendingin ruangan juga tidak menyala.
Pedagang juga meminta pemkot menunjuk pengelola gedung. Jika tidak ada investor yang tertarik, pemkot bisa membentuk badan usaha untuk mengelola gedung tersebut. Pengelola bisa membuat acara bazar atau pameran yang bisa menarik pembeli. Kegiatan itu tidak bisa dilakukan DPBT karena dinas tidak memiliki kewenangan mengelola mal. Dinas hanya jadi juru tagih. (Salman Muhiddin)