Mengapa Ayah Perkosa Anak?

Selasa 12-10-2021,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

US Department of Justice menyarankan agar anak-anak diajari untuk mengatakan: Tidak, kepada orang yang dikenal yang mengancam mereka. Meskipun, itu adalah ayah mereka sendiri.

US Department of Justice menyatakan, kasus begitu kebanyakan terjadi di negara miskin, seperti di negara-negara Afrika. Sebab, di negara-negara tersebut tidak memungkinkan seorang anak perempuan diajari kemungkinan bahaya datang dari ayah mereka.

Psikolog Amerika Serikat, S.K. Weinberg dari Departemen Psikiatri, McGill University melakukan penelitian tentang itu. Penelitian dibiayai Dominion-Provincial Mental Health Grant, 2002.

Weinberg membagi pelaku (lelaki) inses menjadi tiga jenis:

1). Pergaulan bebas. Pelaku berhubungan seks tanpa pandang bulu. Termasuk inses. Itu penyimpangan psikopatologi seksual.

2). Intens. Keinginan berhubungan dengan anak (perempuan) kecil, disebut juga pedofilia.

3). Endogami. Pelaku membatasi diri, berhubungan seks hanya dengan anggota keluarga. Ia tidak tertarik dengan wanita di luar keluarga.

Tapi, inses beda dengan pemerkosaan di dalam keluarga. Inses adalah hubungan seks di dalam keluarga yang berlangsung terus-menerus. Pemerkosaan dalam keluarga bisa berkelanjutan, tapi bisa juga hanya sekali.

Weinberg mengatakan, pemerkosaan adalah soal kekuasaan. Pemerkosa merasa atau menunjukkan kekuasaannya terhadap orang yang diperkosa. Bisa karena dendam, bisa karena hal lain. Tapi, tetap menyangkut perwujudan power.

Di kasus Luwu Timur, SA dan RA sudah bercerai. Tapi, tiga bocah yang jadi korban adalah anak kandung SA. Orang tua korban bisa saja saling dendam. Tapi, anak-anak mereka kan bukan musuh ortu mereka.

Tugas polisi menemukan novum, bukan hal gampang. Tapi, lebih berat lagi adalah para korban. Yang harus dilakukan cek fisik berulang-ulang. Sejak dua tahun silam. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait