Bintang Putra sebagai kurator menjelaskan bahwa Yayasan Seruni mencoba menghadirkan bagaimana manusia berusaha untuk terus hidup dan bertahan meski kondisi sedang tidak memungkinkan. Kisah tersebut dituangkan ke dalam karya visual dengan pesan-pesan khusus.
”Pergerakan mereka saya simpulkan masuk ke dalam post-developmentalism. Etika pembangunan sedang dipertimbangkan untuk menjawab keraguan tentang usia peradaban. Ini adalah bentuk gagasan tentang di mana sih ujung dari pertumbuhan?” kata Bintang.
Berbagai tanda tanya akan terus dikeluarkan para penganut post-developmentalism. Hingga terjadilah pergeseran pola pikir yang berdampak pada pemahaman masyarakat secara umum. Hal ini dianggap bisa digambarkan dari seni cukil.
Bintang beraggapan bahwa media visual berperan penting untuk menggambarkan pergeseran paradigma. Sama seperti cukil. Teknik tradisional yang menggabungkan etika dan estetika.
Setelah sempat menurun, pamornya kembali naik beberapa tahun ke belakang. Menggambarkan tentang terjadinya pergeseran pada dunia seni. Namun begitu, cukil tetap memiliki karakter tersendiri sehingga mendapat tempat di kalangan penggiat.
Untuk itulah, Yayasan Seruni kemudian bertekad mengenalkan kembali seni cukil atau bisa disebut dengan xylography. Yaitu jenis seni cetak reliet pada media yang berbahan kayu. Prosesnya dimulai dengan menggambar atau memahat permukaan kayu. Salah satu sisi kemudian dicukil untuk menghasilkan suatu gambar.
Salah satu kelebihan dari teknik cukil ini dapat dilihat dari kemampuannya dalam menghasilkan eksperimen visual yang menarik. Dilihat melalui perpaduan dari tinta berbagai macam warna meskipun proses pembuatannya belum menggunakan alat-alat canggih seperti sekarang.
Ada beberapa medium yang bisa dipakai menyukil. Di antaranya adalah permukaan kayu (woodcut), linoleum (linocut) dan logam (metalcut). Bintang kemudian menjelaskan tentang manfaat cukil dari segi psikologis. Sehingga dapat memberikan kedamaian serta kebahagiaan bagi yang melakukan.
Menurutnya membuat karya cukil ini harus hati-hati dan teliti. Sehingga prosesnya lamban. Ini bisa jadi antitesa dari gaya hidup kontemporer yang cenderung tergesa-gesa. ”Penggunaan pisau cukil dan kerasnya papan cetak melatih kita untuk menahan diri dari hasrat membuat segala sesuatu yang tidak perlu. Atau mubazir,” sebut pria berkacamata itu.
Mencukil pun dipraktikkan dengan mengulang gerakan berkali-kali. Ini bisa menjadi simbol konsistensi. Sekaligus bisa menjadi kegiatan meditatif. Diceritakan olehnya bahwa ketiga seniman merasa menemukan kejernihan pikiran di tengah gempuran informasi dari gawai digital akhir-akhir ini.
Perasaan tersebut ingin ditularkan kepada pengunjung sehingga sama-sama menemukan kedamaian dengan cara sama. Di setiap tarikan garis, si pembuat punya kesempatan untuk mengendalikan emosi. Pada saat itulah mereka bisa merenung.
”Mengingat kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan. Atau sembari memikirkan rencana hidup ke depan. Cukil itu bukan sekadar karya seni. Tapi bisa dipakai sebagai medium meditasi,” tegas Bintang. (Ajib Syahrian)