Harian Disway - SEBELUMNYA PCR. Lantas antigen. Kini balik lagi PCR. Penumpang pesawat pun bingung dengan aturan yang bolak-balik itu.
Aturan terbaru bagi penumpang pesawat terbang: harus menunjukkan hasil negatif swab PCR. Itu mulai diterapkan Minggu kemarin, 24 Oktober. Langsung disambut protes. Banyak yang menganggap aturan itu anomali. Covid di mana-mana melandai, tapi justru PCR yang biayanya kadang-kadang melebihi harga tiket pesawat itu sendiri kembali diterapkan.
Yang protes pun tak tanggung-tanggung, termasuk Ketua DPR Puan Maharani. ”Kenapa dulu, ketika Covid belum selandai sekarang, antigen diperbolehkan sebagai syarat penerbangan. Kalau sekarang alasannya PCR untuk hati-hati, apakah saat antigen itu kita sedang tidak hati-hati,” protes perempuan yang wajahnya sering kita temui di baliho pinggir jalan itu.
Susi Pudjiastuti, mantan menteri kelautan dan perikanan, itu juga protes. Aktivis sosial dr Tirta juga mengkritik aturan tersebut. ”Cukup antigen saja,” kata dokter muda yang sering bersuara lantang itu.
Padahal, saat ini pesawat terbang mulai berbulan madu dengan penumpangnya. Bandara mulai merangkak ramai. Setelah selama hampir dua tahun dicekik anjloknya penumpang. Dan kini awal bulan madu itu bakal mulai terusik dengan diterapkan PCR.
Dan, aturan itu hanya diterapkan di moda angkutan udara. Mengapa kereta api cukup antigen? Naik bus? Kalaupun ada aturan antigen, tidak semua bus menerapkan. Padahal, dalam perjalanan kereta api jarak jauh, tingkat interaksi antar penumpang lebih lama. Jakarta–Surabaya bisa menghabiskan 10 jam dengan kereta, pesawat cukup 1 jam.
Harga swab PCR yang berkisar Rp 500 ribu, bahkan ada yang sampai 700 ribu, juga mengganggu para penumpang pesawat. Terasa tiket naik dua kali lipat. Bahkan, di jalur-jalur tertentu, harga swab PCR melebihi harga tiket. ”Seharusnya, maksimal biaya PCR Rp 275 ribu,” teriak Ibu Susi, pemilik Susi Air.
Jangan heran bila sebagian penumpang pesawat kembali migrasi ke kereta. Di Stasiun Gambir, Jakarta, ada tempat pelayanan swab antigen. Murah dan cepat. Hanya Rp 45 ribu. Secara tindakan medis, proses antigen memang hitungan menit. Yang dimaksud cepat di sini adalah sistem pelayanan yang rapi dan tak bertele-tele melayani konsumen skala besar. Dari loket pembayaran, konsumen langsung ke jendela pemeriksaan yang jumlahnya belasan. Walaupun antre, durasinya hanya beberapa menit. Total dengan tunggu hasil 15 menit.
Antigen di Bandara Juanda (sebelum penerapan PCR) senilai Rp 99 ribu. Biayanya dua kali lipat daripada Gambir. Mungkin hitung-hitungannya bisnis, karena penyelenggaranya swasta, tapi mengapa perbedaan harganya bisa begitu tebal?
Saya pun punya pengalaman, saat terbang Sumbawa–Lombok–Surabaya, sepekan sebelumnya. Sumbawa–Lombok cukup antigen. Rupanya, untuk masuk semua penerbangan dari luar Jawa menuju destinasi di Jawa, penumpang harus menunjukkan tes negatif PCR (saat itu untuk penerbangan antarpulau Jawa cukup antigen). Saya pun tertahan di Lombok karena harus PCR.
”PCR biasa atau PCR ekspres,” tawar petugas tes swab di Bandara Lombok itu. Bedanya? ”Paket biasa tarif Rp 550 ribu, ekspres Rp 700 ribu. Kalau ekspres bisa diambil nanti malam, kalau jalur biasa malam sana (dua malam, Red),” katanya.
Duh, kalau biasa, berarti saya menginap dua hari menunggui hasil, ekspres besok sudah bisa berangkat. Pilihan yang sama-sama kurang enak. Harus dipilih. Saya pun memilih ekspres sesuai dengan jadwal baru tiket. Yang pasti, harga PCR dua kali lipat tiket.
Padahal, menurut Presiden Jokowi, harga maksimal PCR Rp 550 ribu. Itu sudah ada harga banderol, masih tetap aja ada acara menciptakan yang kelas ”ekspres” yang harganya menjadi mahal. Mungkin besok lusa ada lagi kelas superekspres. Tentu lebih mahal.
Dengan kembali harus tes ke PCR untuk penerbangan, RS atau lab penyelenggara PCR tentu akan ramai kembali. Biaya yang tinggi plus menanti hasil yang lama dan berhari-hari (hanya ekspres yang bisa 6 hingga 8 jam) tentu akan banyak penumpang yang akan menempatkan transportasi udara bukan prioritas utama.
Kadin (Kamar Dagang dan Industri) protes. Meminta aturan PCR itu dicabut. ”Kini saatnya pemulihan ekonomi,” kata Wakil Ketua Bidang Perhubungan Denon Prawiraatmaja.