Misalnya, ketika Allah menggambarkan bebatuan yang menggelinding jatuh dari dataran tinggi ke dataran yang lebih rendah, ”wa inna min-haā la maā yahbiṭhu min khasy-yatillaāh”.
Dan sungguh di antara batu-batu itu ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya. Dan di antaranya sungguh ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air dari padanya. Dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah: 74)
Atau, saat menggambarkan Nabi Nuh turun dari bukit tempat ia terdampar setelah banjir besar. Dengan kalimat perintah: ”Qiīla yaā nuụḥuhbiṭh ...”.
Difirmankan (kepadanya): ”Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu, dan atas umat dari orang-orang yang bersamamu.” (Q.S. Hud: 48)
Atau, ketika nabi Musa memerintah umatnya untuk turun ke kota, dengan kalimat: ”Ihbiṭhuụ miṣhran fa inna lakum maā sa`altum”.
Musa berkata): ”Turunlah kamu ke kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta”.
Maka, ketika Allah memerintahkan ”turun” kepada Adam dan Hawa dari surga, dengan menggunakan diksi ”qaālahbiṭhuụ”, kita menjadi mafhum.
Bahwa, sesungguhnya mereka tidak turun dari surga yang berada di langit. Ataupun, turun dari suatu tempat berdimensi tinggi ke planet Bumi. Melainkan, dari suatu dataran tinggi yang subur ke tempat-tempat yang lebih rendah. Menyebar ke seluruh penjuru Bumi…
Allah berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan”.
Wallahu a’lam bissawab. (Bersambung)
*) Agus Mustofa, alumnus Teknik Nuklir UGM, penulis buku-buku tasawuf modern, founder kajian Islam futuristik.