Permendikbudristek Itu Cuma Pleonasme

Sabtu 20-11-2021,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

Polemik PPKS (pencegahan dan penanganan kekerasan seksual) mengerucut. Ke pasal 5 ayat 2. Soal frasa: ”Tanpa persetujuan korban”. Yang ditafsirkan banyak pihak sebagai: Melegalkan zina.

------------

Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang PPKS diteken Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pada 31 Agustus 2021. Lantas, disosialisasikan.

Saat sosialisasi itulah heboh. Viral. Dikritik pihak ormas agama. Sampai politikus PKS. Banyak ormas jadi ikut menumpangi protes.

Sebaliknya, pihak kampus, dari Universitas Airlangga, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Indonesia, sampai menteri agama, mendukung.

Terjadilah silang pendapat. Terus-menerus. Mengerucut pada pasal tersebut di atas. Dengan tafsir zina.

Supaya jelas, sumber masalah diurai. Pasal 5 ayat 2. Terdiri atas 15 item. Dari huruf "a" sampai "u". Yang memuat frasa "Tanpa persetujuan korban", tidak di semua item itu. Hanya sebagian. Tepatnya di 7 item. Berikut ini:

  1. b) Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
  2. f) Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
  3. g) Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
  4. h) Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
  5. j) Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
  6. m) Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan korban.
  7. l) Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.

Tujuh item itulah yang dihebohkan. Dalam logika bahasa, kata "tanpa persetujuan korban", (oleh para kritikus) dibalik. Ditafsirkan jadi begini: "Berarti, seandainya dengan persetujuan, maka tidak ada masalah. Alias boleh."

Lantas, penafsiran tersebut, ”di-maju-kan”, jadi: Konsensual (suka sama suka, dibolehkan). Lebih ”di-maju-kan” lagi, jadi begini: "Artinya, peraturan tersebut melegalkan zina."

Di-maju-kan lagi: Zina dilarang agama. Pemerintahan bobrok... dan seterusnya.

Contoh konkret: Item "m": (Dilarang) "membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban."

Ditafsirkan: Bagaimana seumpama korban diam saja? Bagaimana seandainya korban menyetujui?

Di situ pokok kehebohan. Yang kemudian ditumpangi banyak pihak. Pihak Kemendikbudristek pun bersikukuh, bahwa tidak ada yang salah di peraturan tersebut.

Lebih heboh lagi, ada ormas yang mengancam bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tentu, ormas tersebut bakal diliput pers. Juga tersebar di medsos. Viral.

Itu bisa dianggap sebagai upaya koreksi. Yang bisa pula ditafsirkan  sebagai aksi pansos. Panggung sosial.

Tags :
Kategori :

Terkait