Permendikbudristek Itu Cuma Pleonasme

Sabtu 20-11-2021,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

Sementara itu, pelecehan seks mahasiswi terus terjadi. Terbaru, Dekan FISIP Universitas Riau Syafri Harto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Riau, dituduh pelecehan seksual terhadap mahasiswi.

Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya, kepada pers, Kamis (18/11), mengatakan: 

"Itu bukti pentingnya RUU TPKS. Langsung, lho... Itu dampaknya. Ini (RUU TPKS) mengatur yang lebih luas, bukan kemudian melakukan legalisasi free sex, bukan."

Korban berjatuhan. Para pihak berdebat, berpolemik.

Tak kurang, Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy komentar ke pers, Kamis, demikian:

"Secara subtansif harus kita dukung karena itu upaya untuk mencegah dan melindungi dan memberikan pembelaan kepada mereka yang menjadi korban dari kekerasan seksual."

Dilanjut: "Memang, sekarang masih dalam keadaan ada perbedaan di masyarakat. Karena, di situ ada frasa yang ambiguitas masih mengganda arti dan saya yakin dalam waktu yang tidak lama nanti segera dikoreksi. Diadakan pembenahan."

Tekanan kata: "ambiguitas". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, itu berarti mendua. Atau punya dua pengertian. Juga, kata "segera dikoreksi".

Artinya, Menko PMK mengakui, ada kesalahan di peraturan itu. Maka, segera dikoreksi.

Tujuh item di pasal yang dimasalahkan itu, mungkin, pleonasme. Atau penggunaan kata berlebihan, yang sebenarnya tidak perlu. Contoh, kata: "Api yang menyala". Kalau sudah "api', pastilah "menyala".

Hendra Kasmi, dalam bukunya, Kajian Majas pada Artikel Jurnalisme Warga Serambi Imdonesia, menyebutkan: Pleonasme, bagian dari majas (gaya bahasa). "Pleonasme digunakan untuk menegaskan suatu kalimat. Padahal, tanpa ditegaskan, kalimat itu sudah tegas."

Mengapa pleonasme digunakan dalam suatu kalimat? "Sebab, penulisnya merasa kurang yakin dengan kalimat tersebut. Sehingga diberi kata penegasan. Agar lebih tegas."

Contoh di kalimat panjang: "Barisan tentara musuh mundur ke belakang, mengaku kalah dalam peperangan."

Pembahasan: Kata ”ke belakang” tidak diperlukan lagi. Sebab, ”mundur” sudah berarti ke belakang.

Tapi, ada contoh lain: "Adi menengok ke belakang, mencari asal suara itu."

Pembahasan: Memang, kata ”ke belakang” tidak terlalu perlu. Walau, ada sedikit perlu: Merujuk arah. Sebab, mungkin, bisa ke kiri atau kanan.

Tags :
Kategori :

Terkait