Siap Melangkah ke Mana Saja

Sabtu 20-11-2021,07:32 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Beberapa orang menganggap pesona realisme memudar karena adanya seni fotografi. Tapi bagi Nur Samsi, realisme adalah idealismenya. Baginya, lukisan realis memiliki estetika khas yang berbeda dengan seni fotografi.

Kemajuan teknologi, utamanya di bidang seni fotografi, lambat laun membentuk anggapan orang bahwa seni tersebut berdampak pada menurunnya minat masyarakat terhadap lukisan realisme.

Melukis dengan gaya hyper-realism sekali pun, dengan membesarkan bagian tubuh tertentu hingga terlihat pori-porinya, telah dapat dilakukan pula oleh seni fotografi. Peralatan kamera telah canggih. Bisa membidik dengan teknik zoom hingga puluhan kali lipat.

”Tapi tetap ada estetika yang berbeda dari seni rupa realis dan seni fotografi,” ujar Samsi, yang sejak dulu telah menggeluti gaya realisme dalam karya-karyanya.

Bagi Samsi, menariknya seni rupa realisme adalah dari segi proses. ”Membuat lukisan realisme kan butuh proses panjang. Mulai dari mencari objek, memilih warna, menentukan komposisi dan lain-lain. Saya menikmati itu,” ungkapnya.

Ketika membuat karya, seorang fotografer biasanya menunggu suasana yang pas. Paduan antara latar, pencahayaan yang tepat, serta pose figur atau penempatan objeknya membentuk komposisi yang menarik.

Lain halnya dengan pelukis realis. Samsi misalnya, cukup melukis satu-dua objek atau figur, kemudian ia dapat mengkreasikan pose, latar, pencahayaan, serta imbuhan-imbuhan lain yang sesuai dengan imajinasinya.

”Fotografi menangkap realitas, memadukannya secara artistik antara objek serta suasana dan latarnya. Sedangkan melukis realisme dapat lebih bebas memainkan imajinasinya soal komposisi,” ujar perupa 46 tahun itu.

Samsi mulai menekuni realisme secara intens ketika menempuh studi di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya. Ia masuk pada 1993. Mengambil jurusan Desain Grafis.

Ketika itu, dunia periklanan di Indonesia mengandalkan teknik manual. Yakni melukis produk secara langsung, serta membuat gambar hurufnya. Tentu saja metode belajar yang diberikan oleh para guru adalah teknik melukis realis.

Karena realisme merupakan kecenderungan semua desain produk waktu itu. ”Termasuk poster bioskop. Dulu sebelum ada teknologi print, poster bioskop dibuat dengan teknik lukisan realis,” ungkapnya.

Setelah lulus pada 1997, Samsi bekerja di sebuah perusahaan cetak foto. Ketika itu tugasnya adalah mempercantik foto. Menghilangkan kerutan pada wajah figur, jerawat, mempertajam warna mata serta bagian-bagian tertentu lainnya. ”Belum ada teknologi face beauty atau kamera jahat seperti sekarang,” ujarnya.

Tags :
Kategori :

Terkait