Tempatnya berbatasan langsung dengan Jalan KH Mas Mansyur. Sebuah ruas jalan yang dahulu diberi namanya Kampementstraat. Kawasan itu merupakan tempat tinggal dan beraktivitas masyarakat etnis Arab di Surabaya.
”Pasar Pabean dulunya merupakan pusat perekonomian masyarakat Tionghoa. Di sekitar pasar terdapat rumah-rumah penduduk yang bentuknya cukup unik. Karena menampilkan corak arsitektur campuran antara budaya Tionghoa dan Arab. Letaknya ada di Jalan Panggung, cukup dekat dari Pasar,” kata Sandra.
Ia pun menceritakan kalau pada 10-13 Januari 1946, masyarakat etnis Tionghoa pernah melakukan pemberontakan terhadap penjajah. Mereka tidak berperang layaknya arek-arek Suroboyo. Melainkan melumpuhkan sektor perekonomian.
Hal itu terjadi setelah mereka dituduh mencur di gudang makanan milik sekutu. Para pedagang kemudian melakukan aksi mogok berjualan. Seluruh aktivitas di Pasar Pabean lumpuh total.
Akan tetapi, permasalahan kembali hadir. Pada 2020 ketika Pasar Pabean tak beroperasi. Bukan karena mogok jualan, tapi pandemi Covid-19. ”Saya sudah berbincang dengan Ibu Avilia, salah satu pedagang di Pasar Pabean. Beliau bilang kalau kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya,” papar Sandra.
Ajang yang baru digelar tahun lalu ini sudah mencapai tahap final. Pada 19 Desember esok, dilaksanakan grand final guna menentukan laki-laki dan perempuan terbaik, dipilih dari 20 finalis. Saat ini, para finalis masih ada di tahap mempersiapkan diri. Dengan mengikuti beberapa pembekalan daring. Serta melakukan karantina bersama tiga hari sebelum hari puncak. Semua akan digembleng di situ. (Ajib Syahrian)