Junjung Tunjungan

Selasa 30-11-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - SEBETULNYA saya enggan menceritakan ini. Setelah Varna Culture Soerabaia selesai dibangun, hotel milik BUMD Provinsi Jawa Timur itu membuka layanan coffee shop di teras depan. Di bawah balkon yang memang menjorok ke trotoar.

Kebetulan saya yang punya ide itu. Karena ingin Jalan Tunjungan, Surabaya, seperti di Champs-Elysees di Paris. Yang banyak restoran dan kafe memasang kursi di jalur pedestriannya. Dengan begitu, pelanggan bisa menikmati kopi sambil melihat lalu lalang orang di jalan.

Hotel itu pun sengaja dibangun untuk memancing keramaian Jalan Tunjungan. Jalan legendaris yang telah lama telantar. Padahal, lagunya sangat terkenal. Yang digubah dan dinyanyikan (almarhum) Mus Mulyadi: Mlaku-Mlaku nang Tunjungan.

Bukan bangunan baru. Tapi, merombak dalamnya gedung cagar budaya kelas C. Yang boleh dirombak bagian dalamnya. Tak boleh mengubah struktur dan fasad depannya. Gedung itu tercatat dibangun tahun 1930. Oleh orang Belanda.

Ternyata kafe dengan kursi di depan itu hanya berumur dua malam. Malam ketiga, serombongan Satpol PP Pemkot Surabaya mengobraknya. Dengan atraktif pula. Membawa pasukan dan truk untuk menyita kursinya.

”Ini perintah wali kota,” kata komandannya.

Gagasan menghidupkan Tunjungan sebagai tempat jalan-jalan di kota memang sudah lama. Sejak pemerintahan Wali Kota Bambang D.H. Yang kebetulan saya membantu menjadi wakilnya. Nah, saat sudah tidak menjadi sesuatu, saya pun ingin berperan ikut meramaikannnya.

Bangunan yang semula menjadi kantor itu saya rombak. Menjadikan di dalamnya sebagai hotel. Tidak besar. Hanya 56 kamar. Lantai bawah menjadi coffee shop sekaligus resepsionis. Enak dipakai nongkrong alias cangkrukan. Sehabis mlaku-mlaku nang Tunjungan.

Kalau saja wali kotanya Eri Cahyadi, aksi mengobrak layanan hotel itu tak pernah terjadi. Sebab, ia kini sedang getol untuk menjadikan Romansa Tunjungan sebagai destinasi wisata. Dengan serius pula. Sampai menata dan menyediakan tempat-tempat parkir kendaraan.

”Kita siapkan di beberapa tempat. Termasuk kerja sama dengan hotel di jalan itu yang punya tempat parkir luas. Mereka ternyata juga antusias,” kata Eri saat berbincang santai di Black Canyon, Jalan Ahmad Yani, beberapa waktu lalu.

Ketika wali kotanya Bu Risma, upaya junjung atau mengangkat kembali Tunjungan juga dilakukan. Ia membangun pedestrian dan tata lampu sepanjang jalan tersebut. Juga, sempat beberapa kali menutup jalan itu untuk sebuah kegiatan.

Namun, program itu tak berkelanjutan. Sebab, digelar dengan berbasis anggaran pemerintah. Seperti biasanya, program seperti itu tak berketerusan. Berbeda dengan program yang berbasis partisipasi warga. Apalagi, di sektor pariwisata.

Karena itu, mendorong swasta untuk ikut menghidupkan jalan tersebut menjadi lebih penting. Ketimbang memonopoli dengan kegiatan-kegiatan pemerintah. Yang biasanya hanya terselenggara ketika ada anggaran.

Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah selain menata parkir? Membuat kebijakan yang menstimulus warga untuk berkegiatan di tempat itu. Atau, mengubah peruntukan bangunan di sepanjang jalan tersebut. Misalnya, tidak boleh ada bengkel atau showroom mobil di sepanjang kawasan tersebut.

Kalau perlu, memberikan insentif kepada pengusaha yang ingin mendirikan kafe atau restoran di sepanjang Jalan Tunjungan. Misalnya, membebaskan pajak restoran selama 2 tahun. Juga, mengundang beberapa brand kafe yang kuat untuk membuka usaha di jalan tersebut.

Tags :
Kategori :

Terkait