Ariel Ramadhan menggelar pameran berjudul Laut Lestari di Kayoene Café dan Gallery, Surabaya. Dalam pameran tunggal keduanya, Ariel membawa misi tentang penyadaran mengenai lingkungan. Perahu sebagai bahasa simbolnya.
Ada 30 karya lukisan yang dikerjakan Ariel dari tahun 2020 hingga 2021 dipamerkan. Semua dikerjakannya dengan menggunakan media cat akrilik di atas kanvas. Sebagian lagi dipadu dengan menggunakan cat air sebagai penyempurnaan.
Yang unik, pemuda 21 tahun itu bereksperimen dalam bentuk kanvas. Tak semuanya konvensional berbentuk persegi. Ariel ingin membuktikan bahwa ia dapat berkarya di kanvas bulat.
Eksplorasi bahan tak berhenti di situ. Lulusan IC School Surabaya tersebut bermain dengan melukis menggunakan kanvas yang diolah dari tenda terpal bekas.
Bahan disatukan dengan teknik kolase yang dicampur dengan sampah plastik yang dibuang sembarangan oleh masyarakat di Pantai Kenjeran.
Ada botol bekas air mineral, sedotan, bungkus sampo, sedotan, bungkus mie instan, kemasan minyak goring dan lain sebagainya.
Kolase aneka sampah plastik pada tenda terpal bekas ini kemudian dilukis menggunakan perpaduan cat akrilik. Beberapa bagian dia padu dengan teknik pisau palet.
”Ada dua karya membahas tentang dampak sampah plastik di atas terpal bekas yang ditampilkan dalam pameran ini. Ukurannya 180 x 120 sentimeter yang dia kerjakan akhir tahun 2020. Satu lagi berukuran 159 x 103 sentimeter yang dikerjakan pada awal tahun 2021,” kata Arik S Wartono, kurator pameran.
Arik yang juga merupakan guru lukis Ariel di Sanggar Daun mengungkapkan jika sebagai seniman, Ariel secara swadaya serta kesadaran sendiri berinisiatif melakukan proses karya.
Kecerdikan terlihat pada bahasa simbol dengan objek utama perahu tradisional Pinisi dan Jukung. Hal ini seakan menggugah kesadaran kita untuk melakukan pelestarian lingkungan.
”Pinisi dan Jukung adalah perahu tradisional Nusantara, dan kita sesungguhnya bisa belajar banyak dari kearifan tradisi untuk menemukan solusi atas berbagai persoalan hidup kekinian,” ujar Arik.
Pendiri sekaligus pemilik Sanggar Daun itu melanjutkan bahwa melalui bahasa-bahasa simbol ini Ariel juga mengajak masyarakat secara luas yang tidak terbatas pada publik seni untuk merenung ulang bahwa peradaban modern ternyata tidak selalu selaras dengan kehidupan planet bumi yang berkelanjutan.
Karya seni yang baik adalah karya yang tidak sekadar menghibur mata secara fisik, tapi juga mampu menawarkan kontemplasi. Mengajak masyarakat merenungkan kembali hal-hal yang secara tak sadar memberi dampak buruk. Kemudian menemukan solusi bersama atas permasalahan aktual dalam kehidupan.