Bagi Clarence Chua, Singapura memang tidak bisa menjadi negara agraris. Tetapi, mereka tidak akan bisa bertahan hidup jika warganya tak mencintai alam. Karena itu, ia membangun taman organik di atap bangunan agar orang Singapura paham betapa pentingnya makhluk-makhluk kecil di alam.
MEMBICARAKAN lebah, sebagian orang pasti akan berpikir risiko disengat. Padahal, kata Chua, lebah tidak membahayakan jika orang tidak melihatnya sebagai ancaman.
Para pemerhati lingkungan sudah lama menggarisbawahi pentingnya lebah terhadap ekosistem dunia. Dengan membawa serbuk bunga dari satu tempat ke tempat yang lain, lebah menjamin ketersediaan buah dan benih. Artinya, mereka ikut menjaga kelestarian pangan, nutrisi, dan keberagaman hayati.
Lebah—dan hewan-hewan pembantu penyerbukan lain, misalnya kelelawar dan burung—menghasilkan 87 persen bahan pangan di dunia. Dan sekitar 75 persen pangan manusia pun bergantung—dalam satu atau dua prosesnya—bergantung pada penyerbukan.
Dengan kata lain, manusia tidak akan bertahan hidup tanpa lebah. ’’Mereka itu partner kita yang paling penting,’’ kata Clarence Chua.
Menurut lelaki 38 tahun itu, lebah bukan ’’makhluk pedesaan’’. Mereka juga bisa bertahan hidup di perkotaan. Itulah yang ditunjukkan oleh Chua di The Sundowner, kebun di atap bangunan, yang dikelolanya.
’’Singapura memang bukan negara agraris. Sebagian besar bahan konsumsi kita berasal dari impor. Nah, yang tidak kita sadari adalah, jika lebah tidak membantu penyerbukan, kita dan hewan-hewan lainnya akan mati kelaparan,’’ ucap lelaki yang menempuh jurusan jurnalistik semasa kuliah itu.
Di The Sundowner, Chua mengajak orang berkenalan dengan tiga spesies lebah. Yakni, lebah madu Asia, lebah merah, dan lebah hitam. ’’Saya ingin menunjukkan bahwa lebah adalah binatang yang ramah. Mereka tidak berbahaya jika Anda juga tidak membahayakan mereka,’’ kata Chua.
The Sundowner dibuka pada November 2020. Ketika itu, para pekerja di perusahaan landscaping milik Chua sedang kelimpungan. Mereka tidak bisa bekerja. Tidak bebas ke mana-mana. Maka, Chua pun memberi mereka aktivitas anyar: membangun kebun di puncak sebuah rumah.
’’Awalnya, hanya untuk mencoba aplikasi desain landscape . Tetapi, ternyata bisa juga dipakai untuk urban farming ,’’ kata Chua.
Ide ternak lebah itu muncul kemudian. Saat mereka harus memindahkan sarang lebah dari rumah salah seorang klien. ’’Kami sadar bahwa lebah ternyata bukan hama. Maka memanggil petugas pembasmi hama sungguh bukan solusi yang tepat,’’ ujarnya.
Kebun di atap rumah, The Sundowner, ini memberi gambaran habitat alami bagi warga Singapura.(Foto: South China Morning Post)
Selain menangkarkan lebah, mereka juga memelihara ayam yang dibiarkan berkeliaran di atap bangunan. ’’Tidak hanya lucu dan menggemaskan, ayam pun punya peran penting di kehidupan. Tahinya menyuburkan tanah, juga membantu mengontrol populasi cacing. Keseimbangan alam pun tetap terjaga,’’ terang Chua.
Maka, di kebun atap itu, para pengunjung bisa mendapatkan paket komplet: mengenal lebah hingga mencoba aneka makanan dan cocktail yang bahan-bahannya tumbuh di The Sundowner. (Doan Widhiandono)