Sejarah Bermula dari Klimbungan

Jumat 24-12-2021,06:45 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Keberadaan kungfu di Indonesia mewarnai keanekaragaman seni bela diri yang lestari di tengah masyarakat. Boen Bio, misalnya, kelenteng di Surabaya itu membuka perguruan seni kungfu tradisional Hokkian, yang disebut sebagai Kunthauw Hokkian.

KAPASAN, Surabaya, pada era kolonial dikenal sebagai lumbung para pendekar kungfu. Di Kampung Pecinan belakang Kelenteng Boen Bio itulah para pendekar mengasah kemampuannya berlatih bela diri, sebagai antisipasi terhadap maraknya kriminalitas.

Ketika suasana kondusif, maka Kampung Pecinan Kapasan telah beralih menjadi pemukiman warga biasa. Tak ada lagi aktivitas latihan kungfu. “Untuk melestarikan warisan leluhur, pada dekade 70-an, Mpek Kwee King Yang membuka perguruan kungfu yang sifatnya terbatas,” ujar Guan, pengajar kungfu di Kelenteng Boen Bio, Surabaya.

Ketika itu Mpek Kwee membuka perguruannya di daerah Klimbungan, Surabaya. Didikannya keras dan tegas, menempa para calon pendekar muda. Salah satu muridnya yang ternama adalah The Kang Hay.

Dalam khazanah bela diri Tiongkok, kungfu dikenal pula dengan nama kunthauw . Di daerah Hokkian, kunthauw berada di bawah bendera Wu Zu Quan. Yakni seni bela diri asli Hokkian yang terdiri dari lima aliran.

Pertama, aliran Kunthauw Kera, yang menekankan ketangkasan dan kelincahan. Kedua, aliran kunthauw yang memadukan gerakan halus dan tegas, disebut sebagai Bangau Putih Fujian, yang lestari sejak akhir kekuasaan Dinasti Manchu.

Ketiga, Kunthauw Tat Mo, yang lebih dikenal sebagai kungfu Shaolin. Keempat, Kunthauw Luohan yang menekankan postur tubuh dan olah tenaga. Serta kelima, adalah kunthauw yang dikembangkan oleh Kaisar Taizu, dengan gerakan efisien, cepat dan tepat.

Selama mengajar, Mpek Kwee tak pernah mengidentifikasi aliran bela diri kunthauw -nya. “Ketika sudah sepuh dan ditanya oleh para murid, beliau hanya berkata, Kunthauw Hokkian,” ungkap Guan. Artinya, bela diri yang diajarkannya adalah salah satu aliran yang terdapat dalam Wu Zu Quan, yang lestari di daerah Hokkian. 

Meski Mpek Kwee tak pernah secara eksplisit menyebut nama aliran kunthauw -nya, namun mengacu pada karakter gerakan cepat, efisiensi pukulan dan olah tenaga, kunthauw yang diajarkan Mpek Kwee identik dengan teknik ala Kunthauw Taizu.

“Efektivitas itu dapat dilihat dari gerakan-gerakan dalam kunthauw kami. Misalnya, gerakan sat,” ujarnya. Kemudian mengarahkan kedua tangannya sedikit menekuk ke bawah, dengan posisi jari-jari telapak tangan mengatup. 

Sat artinya gerakan mengiris. Fungsinya dapat digunakan untuk melakukan serangan, atau melakukan tangkisan. Khususnya ketika pihak lawan melakukan pukulan upper-cut. “Ketika menghadapi upper-cut, maka tangan kita sigap untuk menangkisnya,” ungkap pengajar 50 tahun itu.

Saat proses menangkis, tentu terjadi benturan antara telapak tangan dengan tinju lawan, atau tulang di bawah lengan. Maka untuk melatihnya, diperlukan latihan dasar yang membenturkan areal tersebut secara intens, untuk melatih kekuatan tangan. “Kan enggak lucu kalau sedang menangkis pukulan, tiba-tiba kesakitan karena tangannya terbentur,” ujarnya.

Kunthauw Hokkian dengan gerakan yang identik dengan Kunthauw Taizu tersebut hanya sedikit jumlahnya di Indonesia. Pelestarinya di Surabaya hanyalah Guan dan kawan-kawan pengajar yang melatih kunthauw di Boen Bio dan beberapa tempat lain.

Di Jakarta, aliran Hokkian juga memiliki nama lain, yakni Ngo Chu Kun, yang didirikan oleh seorang guru kungfu bernama Lo Ban Teng pada dekade 1920-an. Perguruan tersebut kini berkembang pesat dan lebih dikenal dengan sebutan Kunthauw Lo Ban Teng. “Beliau satu aliran dengan Mpek Kwee. Konon, keduanya belajar bela diri sampai ke Hokkian, Tiongkok,” ungkapnya.

Pada dekade 70-an, ketua Kelenteng Boen Bio berkeinginan untuk melestarikan tradisi kungfu. Ia ingin ruang tengah kelenteng menjadi sarana berlatih. Demi merealisasikan keinginannya, pihak Boen Bio menghubungi Mpek Kwee untuk melatih kunthauw , atau mengirim murid-murid terbaiknya. “Karena saat itu Mpek Kwee sudah sepuh, tentu tak bisa mengajar. Beliau mengirim murid-muridnya dari Klimbungan. Salah satunya The Kang Hay, yang juga guru saya,” ujar pria yang juga mengajar seni barongsai di Boen Bio tersebut.

Mpek Kwee lahir pada 1890 dan meninggal saat berusia 97 tahun di Surabaya pada 1987. Pasca meninggalnya sang guru besar, kegiatan kunthauw di Boen Bio vakum. The Kang Hay tak lagi melatih kunthauw di Boen Bio. Ia bersama murid-muridnya memanfaatkan Depot Sari yang ada di daerah Mayjend Sungkono, Surabaya, sebagai tempat latihan.

Tags :
Kategori :

Terkait