SELAIN vaksin impor, vaksin buatan dalam negeri, Merah Putih, sudah disetujui sebagai booster. Mendampingi vaksin lainnya, yakni Sinovac, Sinopharm, AstraZeneca, Moderna, dan Pfizer. Juga satu jenis vaksin lagi yang proses penyelesaiannya dilakukan di Indonesia, yaitu Zifivax.
Vaksin Merah Putih yang dibuat Universitas Airlangga itu dinilai layak. ”Ya, itu sudah disetujui oleh presiden langsung,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena saat dihubungi, kemarin (7/1).
Presiden Jokowi meminta agar vaksin buatan dalam negeri bisa diprioritaskan untuk booster. Tentu setelah mendapatkan izin penggunaan darurat (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). ”Tentu memenuhi kaidah keilmuan. Sambil kita tunggu prosesnya, kita akan terus dorong agar jadi booster di tahun depan,” kata Melki.
Agaknya, proses menjadi booster itu masih panjang. Mengingat VMP kini masih persiapan uji klinis fase 1. Rencananya, bakal digelar awal Februari mendatang. Sebanyak 500 relawan yang akan disuntik di RSUD Soetomo Surabaya.
Bahkan, persiapan itu sempat menemui kendala. Satu poin dari BPOM sempat belum bisa terpenuhi. Yakni harus melibatkan relawan yang belum divaksin sama sekali. ”Permintaannya seperti itu. Tapi akhirnya bisa dipenuhi,” jelas Ketua peneliti vaksin Merah Putih di Unair Prof Fedik Abdul Rantam.
Tim VMP berkoordinasi lembaga dan instansi terkait untuk mendapatkan para relawan. Seperti Kemenkes, dinas kesehatan di daerah, bahkan dinas sosial. Juga perhimpunan ibu-ibu PKK.
”Sudah banyak yang tanya kapan dimulai,” kata Fedik. Artinya para relawan sangat antusias. Mereka menanti untuk segera disuntik vaksin buatan dalam negeri pertama itu. Sebab, penggunaan vaksin memang butuh proses yang panjang. Apalagi untuk bisa dijadikan booster.
Bahkan sebelum uji klinis harus lolos uji pra klinis. Yakni dengan menyuntikkan ke hewan untuk mengetahui efikasinya. Saat itu disuntikkan kepada primata dan tikus. Dan sudah terbukti efikasi VMP sangat bagus. Mencapai 93 persen. Dari 50 ekor hewan, terdapat 1-2 ekor yang tubuhnya mengalami kerusakan.
”Izin BPOM sesuai rencana. Prosedur final sedang dilengkapi,” kata Peneliti Utama VMP dr Dominicus Husada. Efikasi itu sudah melebihi standar WHO yang 50 persen. Baru bisa disuntikkan ke manusia pada uji klinis fase satu.
Fase satu itu harus membuktikan bahwa VMP benar-benar aman. Tidak menambah bahaya pada keselamatan 500 relawan tersebut. Itu dibuktikan dengan penelitian terhadap relawan yang sudah divaksin selama 4 minggu.
“Sebetulnya, yang penting bukan efikasi. Tapi, keamanan yang harus menjadi fokus kita,” katanya saat dikonfirmasi kemarin. Kemudian, jika lolos akan berlanjut pada fase dua. Yang menjadi penilaian adalah manfaat dari vaksin tersebut.
Dilihat dari muncul dan tidaknya kekebalan tubuh para relawan. Para relawan dalam fase satu dan dua akan diawasi selama 6 bulan secara intens. Termasuk dilakukan pemeriksaan laboratorium beberapa kali.
Jika berhasil muncul bisa lanjut tahap ketiga. Yakni disuntikkan ke ribuan orang. ”Jadi uji klinis itu selalu panjang. Cuma orang non kesehatan ya gak ngerti,” jelas Dominicus.
Menurutnya, semua kemungkinan bisa terjadi dalam tiga fase itu. Bahwa uji klinis memang benar-benar sebagai ajang pembuktian. Apakah vaksin sangat aman dan bisa bermanfaat. Atau justru malah sebaliknya.
Apabila bisa lolos semua fase uji klinis, maka akan jadi sejarah baru bagi Indonesia. Ilmuwan dalam negeri mampu membuktikan kompetensi mereka. Yakni bisa memproduksi vaksin secara mandiri. Yang 100 persen bahan dan prosesnya dilakukan oleh sendiri.