Toni Harsono mengecat boneka wayang potehi berdasar referensi yang betul-betul diyakininya. Yakni: ingatan dan pengalaman.
DI Tiongkok ada satu kesenian yang sangat populer dan mendunia. Itulah Opera Beijing atau jingju ( 京 剧 ). Pertunjukan ini sudah ada sejak akhir abad ke-18. Gaungnya terus membesar pada abad ke-19. Dan terus mengalami modernisasi sejak abad ke-20.
Situs UNESCO, organisasi milik PBB, menyebut bahwa Opera Beijing berkembang pesat di Beijing, Tianjin, dan Shanghai. Ia adalah kesenian yang menampilkan sajian komplet. Mulai drama, lagu, seni musik, komedi, hingga bela diri. Beberapa tahun terakhir ini, tata lampu dan layar digital untuk latar belakang juga kian canggih.
Opera Beijing dinyanyikan dan dibacakan dengan menggunakan bahasa Mandarin dialek Beijing. Syairnya disusun dengan seperangkat aturan ketat yang memperhatikan susunan bentuk dan rima. Kisah yang diangkat adalah cerita sejarah, politik, saga (cerita kepahlawanan), cerita rakyat, dan kehidupan sehari-hari. Tak kurang ada 1.400 kisah yang bisa diangkat menjadi lakon Opera Beijing.
Musik yang dimainkan pun baku dan khas. Misalnya, jinghu ( 京胡 ) yang berbentuk alat gesek dua dawai berukuran kecil. Ada juga dizi ( 笛子 ) yang nada-nada pentatonisnya dimainkan dengan mendayu-dayu. Dalam adegan-adegan yang menampilkan pahlawan atau kemiliteran, muncul penguatan pada alat musik perkusi. Misalnya, bangu ( 板鼓 ) yang berwujud gendang. Juga daluo ( 大 锣 ).
Para lakon Opera Beijing dibagi menjadi empat kategori utama. Pemain lelaki disebut sheng ( 生 ). Lakon wanita adalah dan ( 旦 ). Tokoh maskulin dengan wajah yang dirias tebal adalah jing ( 净 ). Sedangkan tokoh-tokoh komedi disebut chou ( 丑 ).
Kemegahan opera Beijing juga tampak pada tata busana. Terasa glamor dan rumit. Penuh bordir dan payet. Sangat bling-bling .
Kekayaan budaya yang terkandung dalam satu sajian kesenian itulah yang membuat Opera Beijing diganjar sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 2010.
Sekilas, bagi orang yang sangat awam, Opera Beijing adalah bentuk lain wayang potehi. Seperti wayang orang dan wayang kulit. Yang satu dimainkan manusia, satu lagi menggunakan simbolisasi tubuh dua dimensi. Karena itu, karakter penokohan wayang orang dan wayang kulit bisa mirip. Tokoh Gatotkaca akan selalu memakai kutang Antakusuma yang berwarna hitam dan bergambar bintang. Baik pada wayang orang atau pada beberapa karakter wayang kulit. Puntadewa sama-sama digelung rambutnya di wayang orang atau wayang kulit.
Tetapi, Opera Beijing dan wayang potehi sesungguhnya sangat berbeda. Akar budayanya pun tak sama. Opera Beijing lahir di sisi tengah-utara Tiongkok. Sedangkan wayang potehi lahir di Fujian, sisi tenggara Negeri Panda itu. Bahasanya pun berbeda. Opera Beijing menggunakan bahasa Mandarin. Wayang potehi mengusung bahasa Hokkian.
KEPALA-KEPALA wayang potehi yang dikoleksi Toni Harsono di Museum Potehi Gudo. Warnanya masih putih karena baru diberi cat dasar.(Foto: BOY SLAMET-HARIAN DISWAY)
Karena itu, dalam mengecat kepala wayang potehi, Toni Harsono tidak pernah merujuk pada Opera Beijing. ’’Saya ingin membuat wayang yang original. Sesuai yang saya lihat waktu masih kecil,’’ ucap Toni.
Itulah yang membuatnya begitu getol memburu wayang-wayang potehi lama sekitar dua dekade silam. ’’Saya cuma ingin pinjam terus dijadikan contoh pembuatan di sini,’’ katanya. Toni rela pergi ke Semarang untuk meminjam koleksi boneka milik Thio Tiong Gie. ’’Saya lihat bentuk kepalanya seperti apa. Bajunya bagaimana,’’ kata lelaki kelahiran 1969 tersebut.
Sampai sekarang, Toni tetap berpatokan pada bentuk, pola warna, dan pola garis wajah pada wayang potehi lama itu. Dengan telaten, ia mengecat satu per satu kepala wayang ’’mentah’’ yang dibelinya dari para perajin.
Meski begitu, Toni tak mau mandek pada pakem wayang lama itu. Ia pun menciptakan bentuk-bentuk wayang baru. ’’Tapi tidak untuk dimainkan dalam pertunjukan wayang potehi asli,’’ kata Toni.
Wayang-wayang model anyar itu dibuat untuk menyajikan kisah-kisah yang berbeda. Cerita yang kontemporer. Atau bentuk kesenian lain yang diwujudkan dalam teater boneka ala potehi. ’’Misalnya, ludruk,’’ ujar Toni. Salah satu yang ingin digarapnya adalah cerita Kebo Kicak dan Surontanu yang menjadi salah satu legenda munculnya nama Jombang. Kisah lain yang pernah digarap adalah kisah kelahiran Yesus yang dipentaskan saat natal di gereja.
’’Kalau untuk wayang potehi yang asli, saya tetap berpatokan pada pakem. Tetapi untuk yang baru, yang kontemporer, istilahnya, saya kreasi sendiri. Pesan ke perajin, bagaimana yang saya inginkan,’’ katanya.