SEBENARNYA tidak mengejutkan bila Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Prof Masdar Hilmy membela kebijakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Menag adalah atasan langsung rektor-rektor UIN. Ini satu upaya Kemenag untuk menahan serangan kritik terkait terbitnya Surat Edaran Menag nomor SE.5/2022 itu.
Masdar menyatakan setuju dengan surat edaran yang mengundang kontroversi itu. Menurutnya, aturan tentang pengeras suara masjid itu dibuat untuk menciptakan keharmonisan sosial dan kerukunan antarumat beragama.
“Mungkin saja, ada yang terganggu dengan bunyi masjid. Hanya saja, tidak ada yang berani protes karena di Indonesia mayoritas beragama Islam. Dulu ada yang protes di Medan. Tapi, dia terjerat Pasal 156a,” kata Masdar kepada wartawan di kampus UINSA Jumat (25/2/202).
Aturan ini juga, bukan pertama kali dikeluarkan oleh Kemenag. Pada 1978 sudah ada aturan serupa. Melalui melalui instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
”Kami dari perguruan tinggi Islam, tidak kesulitan untuk mengikuti alur atau nalar dari SE tersebut. Karena itu, kami sangat mendukung aturan tersebut. Karena, pada dasarnya aturan tersebut akan memperkuat toleransi beragama,” kata doktor sosiologi politik lulusan University of Melbourne, Australia itu.
PELANTANG Suara di kubah Masjid Baitul Gaffar Surabaya. (Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)Tidak hanya Indonesia yang mengeluarkan aturan untuk pengeras suara di masjid. Beberapa negara lainnya juga sudah mengeluarkan aturan serupa. Termasuk di Arab Saudi. Sejak Juni 2021, aturan itu sudah dibeberkan kepada masyarakat di sana.
Dalam aturan itu disebutkan, pengeras suara luar hanya diperbolehkan untuk azan dan iqamat. Selain itu, penggunaan pengeras suara harus diturunkan volumenya. Hanya sepertiga dari volume suara yang biasanya digunakan.
Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan aturan itu karena suara dari masjid yang keras dianggap bisa mengganggu orang yang sedang sakit. Mesir juga punya kebijakan serupa. Masdar khawatir ada ihak yang sengaja memperkeruh suasana dengan memainkan isu aturan soal pengeras suara masjid itu.
Suara berbeda justru dari PKB. Partainya Yaqut. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyatakan bahwa soal toa (pengeras suara, red) merupakan kearifan lokal. Pemerintah tidak perlu mengatur. "Di semua kamppung toa malah jadi hiburan selain syiar agama. Cabut aturan yang tidak perlu," kata Muhaimin.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid menyayangkan pernyataan Yaqut yang menyamakan azan dengan gonggongan anjing. "Kami sarankan dengan hormat agar Menag meralat dan mengakui kesalahan analoginya," kata wakil ketua MPR itu. (Michael Fredy Yacob)