Jeffry Pondaag, Pejuang Masa Kini yang Merepotkan Belanda

Kamis 10-03-2022,11:41 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Jeffry Pondaag berhasil mengguncang dunia 14 September 2011 lalu. Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) itu berhasil memenangkan tuntutan terhadap Belanda atas pembantaian warga sipil di Rawagede, Jawa Barat. Sayang pria yang telah membuka tabir dosa-dosa Belanda itu tak pernah dilibatkan dalam penelitian yang menjadi dasar penyesalan mendalam Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte 18 Februari lalu.

JEFFRY punya sikap yang sama dengan Pendiri Komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan. Menurutnya, penyesalan Mark Rutte itu omong kosong. Belanda tidak pernah secara tulus mengakui kesalahan terbesarnya: merampas tanah air Indonesia lebih dari 300 tahun. Dan setelah terusir oleh Jepang pada 1942, Belanda kembali lagi mengklaim Indonesia adalah milik mereka.

“Permintaan maaf itu omong kosong besar. Sudah ada perjanjian antara pemerintah, kerajaan dan peneliti Belanda. Tidak netral itu. Sudah jelas,” ujarnya melalui telepon WhatsApp, Rabu (2/3), pukul 22.00 WIB. Di Belanda masih jam 4 sore. 

Sejak awal, Jeffry dan komunitas Histori Bersama sudah mengingatkan bahwa penelitian sudah terpapar oleh negosiasi politik. Selain pemerintah dan kerajaan, pihak Tweede Kamer (DPR) Belanda juga ikut memberikan persetujuannya. Makanya, netralitas penelitian sangat dipertanyakan walaupun ada beberapa akademisi Indonesia yang dilibatkan.

Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD) dari Partai Liberal menganggap, periode 1945-1949 diwarnai dengan kekerasan terhadap orang Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, serta orang Indonesia yang dituduh antek Belanda. Mereka menganggap itu sebagai subjek penting yang juga harus didalami. 

Menurut VVD, ketika ada dua pihak bertikai, maka keduanya bersalah. Direktur Institusi Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD) Frank van Vree menulis kepada DPR Belanda bahwa tim peneliti dari tiga lembaga sangat setuju dengan syarat-syarat kabinet. 

Sikap peneliti dan kabinet sangat mencolok. Struktur penelitian sudah disesuaikan dengan keinginan penguasa. Pemerintah Belanda bukan hanya mendanai penelitian itu, tapi sudah menentukan isinya.  

Jeffry sudah berkali-kali mengkritik proyek penelitian ambisius yang menelan anggaran 4,1 juta Euro atau setara Rp 65 miliar itu. NIOD, Lembaga Ilmu Bahasa Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), serta Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) dianggap cuma jadi alat penguasa.

Tudingan itu sudah ditepis oleh Kementerian Urusan Umum, Ketahanan dan Luar Negeri pada 2018. Merena menegaskan NIOD dan KITLV adalah bagian dari Akademi Seni dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda (KNAW). Sedangkan NIMH adalah institusi tersendiri yang berada di bawah naungan Kementerian Pertahanan. Tiga institusi tersebut melakukan penelitian ini secara independen. 

Jeffry pun mengirim surat balasan berikutnya. Ia punya bukti telak bahwa penelitian itu cuma trik Belanda untuk melemahkan gugatannya. (Salman Muhiddin)

 

Tags :
Kategori :

Terkait