Tapi Krisis Sawit Dalam Negeri Masih Terjadi

Jumat 11-03-2022,04:00 WIB
Editor : Redaksi DBL Indonesia

PENGHAPUSAN hasil tes antigen maupun PCR sebagai syarat perjalanan menuai kritikan. Khususnya dari para produsen dan penyedia layanan tes usap tersebut. Kebijakan itu dinilai terlalu mendadak.

Begitu juga tanggapan dari pendiri lembaga riset Professor Nidom Foundation (PNF) Prof Chairul Anwar Nidom. Ia khawatir kebijakan itu menimbulkan bias pada pemahaman masyarakat. Bahwa penghapusan tes antigen dan PCR diartikan sebagai lenyapnya pandemi Covid-19.

“Tidak semua penumpang dibebaskan. Hanya yang minimal sudah vaksin dosis lengkap saja,” ujar ilmuwan terbaik peringkat ke-20 versi AD Scientific 2022 itu. Sehingga yang belum menerima vaksin dosis lengkap harus diperhitungkan. Sebab kemungkinan besar menyimpan virus dalam tubuhnya.

Dari aspek bisnis, kata Nidom, semuanya biasa saja. Ibarat petani yang sudah hitung masa panen lalu terkena banjir. Beda jika ditinjau dari aspek teknologi. Kedua tes tersebut masih bisa dimanfaatkan. Sebab pandemi Covid-19 masih berlangsung. “PNF tidak akan menghilangkan dua tes itu terutama PCR. Karena identifikasi virus apa pun bisa terkonfirmasi hanya lewat PCR,” katanya.

Setidaknya, ada dua tujuan dari kebijakan itu. Pertama, meringankan ongkos transportasi para pelaku perjalanan. Kedua, mendorong masyarakat segera vaksin untuk mencapai kekebalan komunal yang lebih lengkap. Biar stok vaksin segera habis sebelum masa kadaluarsa. “Itu kalau memang kebijakannya berdasarkan kondisi di lapangan. Tidak hanya untuk kepentingan perjalanan saja,” paparnya.

Sementara itu, layanan tes antigen dan PCR juga mulai sepi. Salah satunya di klinik Sayang Diagnostic Center (SDC) di Sutorejo Permai. Sudah sepi sejak dua hari lalu. Meski masih ada beberapa yang melakukan tes untuk keperluan lain.

“Kalau saya buat keperluan syarat kerja,” kata Puji Lestari. Warga Mulyorejo itu bekerja sebagai asisten rumah tangga. Dia diminta majikannyi untuk menyetor hasil tes PCR negatif.

Menurut dr Robert Arjuna, jumlah orang yang melakukan tes antigen maupun PCR memang sudah turun. Sudah tidak ada yang datang untuk keperluan syarat perjalanan. “Hanya untuk keperluan kerja. Atau ada juga yang tes untuk self control saja,” ujar pemilik klinik SDC itu.

Bahkan jumlah itu turun sejak beberapa bulan belakangan. Beda jauh jika dibandingkan pada Juli tahun lalu. Tepatnya saat serangan varian Delta gelombang kedua.

Saking banyaknya, orang-orang meluber antre di luar klinik. Padahal, waktu itu klinik SDC menyediakan 6 tempat layanan tes. “Sekarang tinggal satu aja sudah cukup,” jelas dokter spesialis bedah diabetik itu.

Kemarin, ruang laboratorium PCR di lantai 2 juga sudah tidak ada aktivitas. Dua buah mesin pembaca sampel hasil tes PCR pun tidak aktif. Meski begitu, Robert tak keberatan dengan kebijakan yang baru diterbitkan itu. “Karena mungkin untuk menunjang pergerakan ekonomi nasional juga,” jelasnya.

Namun, ia berpesan agar semua pihak tetap waspada. Covid-19 masih berkeliaran. Status pandemi masih berlangsung. Dan tidak boleh lupa bahwa yang berwenang mengubah status menjadi endemi hanyalah WHO. “Jadi saya kira kebijakan penghapusan itu terlalu dini. Tapi, semoga semua tetap terkendali,” kata Robert. (Mohamad Nur Khotib)

 

Tags :
Kategori :

Terkait