Menjaga Ketersediaan Daging Sapi Jelang Ramadan

Jumat 18-03-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

MENJELANG Ramadan 2022, harga daging sapi kembali naik. Harga daging sapi pada Maret 2022 mencapai Rp 140.000. Harga daging sapi naik karena Australia sebagai negara pengekspor mengurangi pasokannya dan menaikkan harga.

Untuk pemenuhan daging sapi, Indonesia sangat bergantung pada Australia sebagai negara pengekspor tunggal. Negara lain sebagai alternatif adalah India. Kenaikan harga daging sapi juga dialami sejak pandemi Covid-19 pada Maret 2020. Harga daging juga berfluktuasi karena kesenjangan permintaan dan pasokan. Awalnya, harga daging naik karena produksi yang berkurang dan permintaan yang meningkat karena panic buying.

Pandemi yang berlangsung tahunan ini mengubah berbagai tatanan kehidupan. Kebijakan pembatasan lalu lintas seperti PPKM, penutupan akses publik, serta pembatasan jam kerja secara langsung dan tidak langsung membuat ekonomi masyarakat lesu. Banyaknya pemberhentian tenaga kerja, menurunnya pendapatan, dan maraknya kebangkrutan dampak pandemi membuat daya beli masyarakat menurun.

Peternak dan petani juga mengalami dampak nyata pandemi. Harga kebutuhan pokok dan bahan pakan tinggi. Namun, sulit menjual produk pertanian, harga jual tidak stabil, penurunan pendapatan sehingga mengalami kerugian dan kesulitan untuk modal beternak kembali.

Iduladha biasanya menjadi kesempatan emas peternak untuk meraup untung. Namun, itu juga tidak memberikan hasil optimal. Kondisi pandemi mengakibatkan daya beli masyarakat turun dan permintaan hewan kurban tahun lalu menurun drastis. Dampaknya, banyak peternak yang sudah mengeluarkan banyak modal mengalami kerugian dan kesulitan untuk modal beternak kembali.   

Pola peternakan di Indonesia masih didominasi peternakan rakyat. Selama ini ternak dijadikan sebagai tabungan dan beternak pandemi yang membuat harga tak keruan dan kerugian. Produksi dan pengolahan daging terganggu karena sulitnya membeli sarana input produksi seperti pakan ternak, pembatasan transportasi hewan hidup. Banyaknya peternak yang merugi terpaksa menutup usahanya. Penurunan populasi ternak selaras dengan penurunan produksi daging.

Selama pandemi Covid-19 ini, terjadi penurunan kapasitas pemerintah untuk meningkatkan produksi daging serta pencegahan dan pengendalian penyakit hewan ternak. Pengurangan itu disebabkan realokasi sumber daya dan anggaran yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pandemi secara efektif.

Dana yang biasanya digunakan untuk memberikan subsidi bantuan petani dan peternak, kegiatan pengendalian dan pencegahan penyakit hewan seperti obat-obatan, penyediaan bibit ternak, banyak dialihkan untuk penanganan Covid-19. Pembatasan jam kerja dan akses lalu lintas juga membuat petugas peternakan sulit menjangkau seluruh peternak.

Penerapan kehidupan new normal yang terjadi beberapa bulan terakhir juga masih belum banyak memulihkan kondisi ekonomi. Permintaan dan daya beli masyarakat pada daging sapi menurun drastis. Penyerapan di sektor industri dan pariwisata juga masih lesu. Hal itu bertolak belakang dengan kesulitan untuk mendapatkan sarana produksi peternakan seperti bibit, pakan, dan obat-obatan yang masih fantastis harganya.

Saat ini pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional masih bergantung pada impor. Pada 2021, kebutuhan daging sapi nasional sebesar 557.872 ton, dengan produksi/stok dalam negeri hanya mampu memenuhi kebutuhan sebesar 389.832 ton (69,88 persen), sehingga masih terdapat kekurangan (defisit) 168.039 ton (30,12 persen) dari kebutuhan yang dipenuhi dari impor daging sapi/kerbau dan sapi bakalan. Pandemi membuat banyak negara pengekspor daging menutup batas negara dan mengurangi kuota ekspor.

Australia yang menjadi negara rujukan impor daging mengalami kesulitan yang sama akibat pandemi. Pembatasan aktivitas membuat banyak peternakan dan rumah potong tutup sehingga populasi sapi dan stok daging turun. Bencana alam seperti badai dan cuaca ekstrem juga makin menyebabkan banyak peternakan hancur. Akibatnya, harga sapi bakalan dan daging melonjak tinggi. Demi menjaga stok dalam negeri, pemerintah Australia juga mengatur pembatasan impor ekspor sapi hidup dan daging.

Tingginya harga sapi bakalan dan daging beku, pembatasan impor, dan penurunan produksi ternak lokal juga memberikan dampak harga daging meroket. Di tengah sebaran virus korona varian Omicron di  Indonesia dan ancaman gelombang ketiga, jika tidak ada upaya khusus, ketersediaan daging nasional bisa menurun. Harga pun makin melambung tinggi.

 

Strategi Pemenuhan Daging

WHO memprediksi pandemi Covid-19 akan berakhir di pertengahan 2022. Jika prediksi itu benar, perlu ada upaya untuk pemulihan pascapandemi. Perlu ada strategi untuk mengurangi dampak dari situasi pandemi yang menghancurkan dan memastikan kelangsungan produksi daging dan rantai pasokan. Diharapkan, pemulihan itu dapat mengembalikan ketersediaan daging.

Tags :
Kategori :

Terkait