Pemerintahan Hindia Belanda mendirikan banyak benteng. Tercatat sekitar 186 benteng yang dibangun. Tujuannya untuk menguasai dan mempertahankan pulau Jawa. Juga untuk menekan pergerakan yang dilakukan Pangeran Diponegoro.
CUACA tak menentu menjadi penghambat perjalanan panjang Jelajah Tiga Zaman kali ini. Ketika Ady Setyawan dan Hadi Saputro menyusuri Jalan Raya Pos yang dibangun saat Herman Willem Daendels ketika menjadi Gubernur Hindia Belanda.
Beberapa kali, hujan lebat memaksa kedua pria itu harus berhenti. Tak terasa, Ady dan Hadi sampai di Tegal. Mereka harus rehat dalam perjalanan menunggangi kuda besi klasik buatan Inggris tersebut.
Di sepanjang perjalanan itu, mereka banyak menemui benteng peninggalan Belanda. Sayang, semua sudah tidak utuh lagi.
Tetapi, Benteng Tegal tidak. Bangunan yang berdiri pada 1680 itu masih berdiri kukuh. Benteng yang pernah direkonstruksi pada 1746 itu terletak di Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Tegal Bar. Di sekitar benteng tersebut, terdapat sungai Tegal.
Di masanya, benteng itu pernah digunakan sebagai kantor dagang VOC. Setelah itu, diperbesar hingga menjadi benteng.
Bangunannya berbentuk persegi empat. Ia punya dua menara bastion atau menara benteng pertahanan. Letaknya di sudut barat laut dan sudut tenggara.
Tinggi menara itu sekitar 10 meter. Komplet dengan satu tangga kayu. Sama seperti yang digambarkan Mayor William Thorn dalam bukunya yang berjudul Penaklukan Pulau Jawa.
Secara garis besar, bangunan benteng itu hingga kini masih sangat utuh. Walau ada penambahan di beberapa titik. Benteng itu juga masih aktif. Tetapi fungsinya berubah. Kini menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B Tegal.
Terlintas dalam pikiran Ady seutas kalimat yang ditulis William Thorn. Bunyinya: Belanda membangun benteng itu untuk melindungi diri dari perampok. “Entah kenapa kalimat itu terlintas dalam pikiran saya. Tapi, saya geli sendiri ketika mengingat petikan kalimat itu,” kata Ady sambil tersenyum.
Dalam tulisan itu dijelaskan, Taggal, nama Tegal saat itu, adalah daerah paling subur. Tegal adalah “gudang beras” Jawa. Sebelum maupun sesudah penaklukan oleh Mataram. Pramoedya juga masih memberikan julukan yang sama di bukunya kepada kota tersebut.
Itulah mengapa Tegal menjadi sasaran empuk bagi para perampok. “Mau tak mau, Belanda mendirikan benteng itu. Untuk menjaga penduduk dan menyimpan bahan makanan. Begitu tertulis dalam buku William Torn,” jelasnya.
Ady sempat mengelilingi bangunan tersebut. Di sekitar lapas sudah dipenuhi rumah warga. Di sisi kiri benteng itu, terdapat gerbang masuk ke pelabuhan Tegal. Puas mengelilingi sisi luar benteng itu, Ady dan Hadi mencoba untuk masuk ke dalam lapas.
“Saya beruntung bisa diberi kesempatan masuk. Berkeliling sisi dalam benteng tersebut. Tentu ada petugas lapas yang mendampingi kami. Kita juga mendatangi dua bastion itu. Di bagian dalam, kondisinya masih 100 persen original,” bebernya.
Suasana di dalam Lapas Kelas II B Tegal.-Ady Setyawan untuk Harian Disway-Benteng lain yang masih terlihat kukuh ada di Pekalongan. Namanya, Fort De Beschermer atau Sang Benteng Pelindung. Masyarakat setempat menyebut dengan Fort Peccalongan atau benteng Pekalongan.
Bangunan itu dibangun di tahun 1753, sebelum perjanjian Giyanti diteken, di tepian sungai Loji.