Jajanan yang dipasarkan berbahan dasar biasa. Biasa digunakan untuk jajanan lain. Beda pengolahan saja yang membuat tampilan dan rasa jajanan ini menjadi berbeda. Setidaknya aduk teknik pengolahan jajanan ini terlihat di Ballroom mal Grand City Surabaya. Puluhan tenan mengikuti event Indonesia Food Exhibition.
Salah satu tenan yang cukup menarik perhatian adalah dari Universitas Ciputra (UC). Setiap pengunjung yang melintas depan tenan yang berukuran 3x3 meter persegi itu, langsung diberikan tester makanan. Setelah itu, mereka memberikan brosur dari prodak yang ada di tenan itu.
Ada 13 macam makanan olahan yang dijual. Makanan itu diolah secara perorangan. Ada juga yang diolah secara kelompok. Salah satunya, yang dijual oleh Timothy Jason. Mahasiswa semester delapan, Jurusan Bisnis itu menjual olahan kacang mente.
Tapi kacang dari biji jambu minyet itu tidak digoreng. Mente dioven sehingga tidak berminyak. Diyakini kolesterolnya lebih rendah. Pengolahan itu, membutuhkan waktu 1 minggu. Mulai dari pengupasan sampai pada pengemasan. Semua proses dilakukan oleh Timothy Jason.
Pria itu menargetkan usaha tersebut bisa membantu para petani kacang mente. Dalam olahan kacang yang dijualnya itu, terdapat empat varian rasa. Rasa asin, karamel, rasa jagung, dan rasa manis. Untuk membangun usaha tersebut, Timothy didukung penuh keluarganya.
Usaha itu sudah dirancang sejak dia duduk di semester dua UC. Namun, baru tahun lalu, dirinya merealisasikan produk tersebut. Serta menjualnya ke masyarakat umum. Dua versi harga yang dijualnya. Untuk ukuran 200 gram dijual dengan harga Rp 85 ribu dan Rp 125 ribu untuk 300 gram. Saat itu, dirinya juga ditunjuk sebagai penanggung jawab booth UC.
Selain mente, ada olahan yang unik dari tenan itu. Yakni, kripik yang terbuat dari kacang kedelai. Makanan itu dinamakan Travelchips.
Kedelai yang diblender lalu dikeringkan. Dicampur dengan adonan untuk membuat krupuk. Setelah itu digoreng hinggah renyah. Produk itu dibuat secara kelompok. Yaitu Cornelius Caesar Widjaja, Geryna Maylingfa Budyanti, Nabil Arhamniazi, dan Widya Witomo.
“Masih banyak lagi olahan makanan yang kami jual di tenan. Selama pameran ini berlangsung, sudah banyak jualan kami yang habis. Hari ini saja (kemarin), kami hampir kehabisan. Jadi, kami tidak hanya diberikan teori saja. Tapi langsung praktik,” ungkapnya.
Sementara itu, Maureen Nuradhi, Entrepreneurship Course Section Head di Fakultas Entrepreneurship dan Humaniora mengatakan, 13 tim ini yang mengikuti pameran itu adalah tim bisnis yang ikut kurasi internal.
Setelah itu, UC akan membiayai untuk mengikuti pameran business to business (B2B) di Indonesian Food Exhibition. Mereka berasal dari mata kuliah entrepreneurship global innovation yang diikuti sejak semester 4. Lalu entrepreneurship scale up yang didapati di semester 6.
Program itu tidak hanya diperuntukkan oleh jurusan bisnis. Tapi semua jurusan di UC. “Total ada 40 kelas paralel dengan tim dosen pembimbing sejumlah 80 orang,” kata dosen prodi Arsitektur, di Fakultas Industri Kreatif, Minggu 12 Juni 2022.
Dia menceritakan, sejak awal masuk ke UC, mereka langsung dibentuk mindset sebagai entrepreneur. Setelah itu, di semester dua, para mahasiswa di program tersebut diminta untuk mempelajari peluang usaha.
Setelah punya model bisnis dan prototype yang udah ditest, di semester selanjutnya mereka perlahan mulai mengoperasikan bisnisnya. Di semester empat, bisnis yang telah mereka bangun tadi, dicoba untuk diinovasi. Barulah di semester lima mereka menerapkan inovasi itu.
Timothy Jason saat memamerkan produk buatannya.-Michael Fredy Yacob-
Terakhir, di semester enam, mahasiswa diajak untuk memikirkan strategi scale up bisnisnya. “Memang panjang prosesnya. Setiap tahunnya, 40 persen dari jumlah wisudawan UC sudah memiliki usaha masing-masing,” jelasnya.