Cita-cita Ady Setyawan telah tercapai. Ia menyusuri Jalan Raya Pos yang dibangun Herman Willem Daendels. Dari Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten, sampai Panarukan, Situbondo. Perjalanan itu adalah upaya mencocokkan catatan tiga penulis dari tiga abad yang berbeda.
AZAN subuh, Senin, 6 Juni 2022, mengawali hari Ady Setyawan. Bergegas, ia mengambil sarung dan sajadah untuk menjalankan ibadah. Setelah itu, bapak satu anak tersebut langsung mengambil perlengkapan touring -nya. Melanjutkan perjalanan panjang: ’’menjelajahi tiga zaman.” Hari itu begitu cerah. Cukup menyuntikkan semangat baru menelusuri Jalan Raya Pos tersebut. Yang menemani masih tetap: Hadi Saputro. Tunggangan Ady juga tak berubah: Royal Enfield keluaran 2020. Pukul 05.30, ia meninggalkan rumahnya di Jalan Medayu Utara, Rungkut. Ia mendatangi Hadi yang menunggu di Sidoarjo. Dari situ, mereka mendatangi gedung kuno di kawasan Buduran. Kini, bangunan itu dipakai oleh Korps Zeni TNI-AD sebagai gudang. Dulu, gedung itu adalah salah satu kantor Pembela Tanah Air (PETA). Pasukan tersebut memang pernah punya empat markas. Yakni di Surabaya, Gresik, Mojokerto, dan Buduran. Kini, bangunan PETA yang tersisa ya yang di Buduran, Sidoarjo, tersebut. Ady juga mencatat bahwa di Sidoarjo ada rumah jaga. Semacam pos untuk petugas keamanan. Dulu, rumah semacam ini banyak tersebar di Jawa. Tetapi, sekarang nyaris hilang. Di rumah jaga itu ada senjata pengamanan yang khas. Wujudnya tongkat dengan ujung bercabang. Seperti huruf Y. Biasanya untuk menahan leher pemberontak atau pembuat onar. Yang ukurannya lebih kecil dipakai untuk menahan kaki dan tangan. Dari Sidoarjo, Ady dan Hadi langsung menuju Dusun Kalanganyar, Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan. “Daerah itu dulunya pernah dibakar habis oleh Belanda,” ungkapnya. Sebab, kawasan itu pernah menjadi markas para gerilyawan melawan penjajah. Ady juga mendatangi Taman Makam Pahlawan (TMP) kecil di dusun tersebut. Dulu, di sekitar makam itu ada masjid. Tetapi, juga dibakar oleh Belanda. Masjid lain akhirnya dibangun. Namanya: Masjid Mujahidin. Korban keberingasan Belanda itu cukup banyak. Meski masyarakat berlarian ke hutan, yang tercecer akhirnya gugur. Bahkan termasuk anak-anak berusia 15 tahun. Selepas dari Pasuruan, Ady terus beranjak ke timur. Menuju Panarukan. Sekitar pukul 17.00, mereka sampai di Probolinggo. Bermalam di situ. Bekas markas PETA yang kini menjadi gudang Korps Zeni TNI-AD di Buduran, Sidoarjo.-Ady Setyawan untuk Harian Disway- Keesokan harinya, Ady dan Hadi kembali melanjutkan perjalanan. Tujuannya adalah Monumen 1.000 Kilometer Anyer-Panarukan. Jaraknya 93 kilometer dari Probolinggo. Itu mereka tempuh dalam 2,5 jam. Monumen itu terletak di Desa Wringinanom, Kecamatan Panarukan. Dibangun untuk mengenang kerja paksa yang dilakukan Daendels. Bangunannya tergolong masih baru. Selesai dibangun September 2014. Monumen tersebut berwujud kayu yang dijadikan tugu. Di tengahnya ada tulisan: 1.000 Km Anyer-Panarukan. Dulu, lokasi monumen tersebut adalah Tugu Udang. Penanda bahwa Panarukan adalah salah satu penghasil udang air payau. Di Panarukan juga terdapat Tugu Portugis. Letaknya di sisi timur Sungai Sampeyan, Dusun Peleyan Barat, Desa Peleyan. Hanya dua kilometer dari monumen. Tugu Portugis menjulang setinggi 3 kilometer. Tepat di belakang permukiman. Dikelilingi sawah warga. Ujungnya lancip, bersisi enam. Tugu itu dipercaya sebagai satu-satunya peninggalan Portugis. Dahulu, Portugis datang dan mendirikan bandar dagang di sisi timur Sungai Sampeyan, pada abad ke-16. Di era Portugis, sungai itu merupakan sungai terbesar di Situbondo yang bermuara langsung ke laut Panarukan. Beberapa kapal bisa melintas di sana. Pelabuhan Panarukan dulu adalah satu-satunya pelabuhan besar di ujung timur Jawa. Portugis juga menjadikan Panarukan sebagai pusat misionaris di ujung timur Jawa. Sejumlah gereja Katolik sempat didirikan di daerah itu. Tetapi, karena zaman berubah, gereja-gereja tua itu tak ada lagi jejaknya. Ternyata, Ady dan Hadi menemukan bahwa tempat yang ditulis dalam buku sudah banyak yang lenyap. Cukup disayangkan… (Michael Fredy Yacob)