Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 2: Menangkap Simbol Ngadhu dan Bhaga

Jumat 17-06-2022,08:01 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Saujana. Sejauh mata memandang Bena, saya tercekat. Terdiam dengan khayalan ke sekian ribu tahun silam. Hening, damai, tenang, juga magis. Saya seperti masuk ke sebuah lorong waktu panjang yang tak pernah terangkum dalam nalar saya selama ini.

Kampung tradisional tertua di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, bertengger kokoh di puncak bukit sebelah timur Gunung Inerie. 

Gunung yang pernah meletus pada tahun dua kali ini masih dikatakan aktif. Bentuknya nyaris seperti segitiga utuh dengan tinggi 2245 mdpl.

Ada getaran rasa yang luar biasa hebat. Lalu bulu kuduk merinding. Saya mulai merasa menjadi salah satu pelakon. Masuk ke sebuah film sejarah peradaban pada zaman batu.

Konon memuja dewa masih menjadi ciri khas penduduk lama Kampung Bena karena keberadaannya yang begitu dekat dengan gunung. Adat istiadat mereka juga masih sangat kental.

Mereka percaya keberadaan Dewa Yeta yang berada di dalam gunung sebagai pelindung Bena. Itulah salah satu alasan mengapa penduduk Bena sangat menjaga, melestarikan, dan menghormati Gunung Inerie.


Saya duduk di undakan pertama Kampung Tradisional Bena. --

Kampung Bena dan penghuninya memang masih setia dan utuh, meninggalkan jejak-jejak senyap budaya megalitikum yang sangat mengagumkan.

Tata cara kehidupan dengan segenap kearifan lokalnya sangat dipertahankan bersama budaya zaman batu yang nyaris tetap sama. Tidak banyak berubah sejak 1200-an tahun lalu.

Saya cubit kedua lengan. Sakit. Sekadar meyakinkan diri pemandangan eksotis di depan saya itu nyata ada di masa sekarang. 

Kasat mata saya lihat. Sau atau Saujana –sahabat yang mengawal saya selama perjalanan di Flores, Nusa Tenggara Timur- mencolek lengan kiri saya. ”Ayo jalan! Mau melamun atau menulis?”

Saya tetap terdiam. Langkah saya akhirnya mengikuti langkah Sau menuruni jalan. Menuju sebuah pondokan penerima tamu yang berada di kiri gerbang pintu masuk.

Saat langkah kami tepat menapak di depan pintu pondokan, ada sambutan ramah dengan senyuman mengembang dua wanita muda. Itu membuat saya semakin semangat masuk ke perkampungan Bena yang dibuka untuk wisatawan mulai pukul 08.00 hingga 17.00 WITA.

”Selamat datang di Kampung Bena,” salah seorang wanita penerima tamu  menyambut ramah. Dia mengalungkan selendang tenun kecil ke leher saya. 

Ternyata selendang itu tanda pengenal para pengunjung Bena. Lalu kami permisi untuk berjalan sendiri memasuki kampung yang sangat bersih dan tertata rapi yang menawarkan ketenangan batin.

Kategori :