Pengguna internet di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Per 1 Januari 2022 ada 204,7 juta penduduk yang sudah terhubung internet. Itu setara dengan 73,7 persen populasi nasional.
Fenomena itu diikuti perubahan perilaku di semua lini kehidupan. Semuanya sekarang serba daring. Belanja, sekolah, ibadah, sosial media, hingga kegiatan investasi bisa dikerjakan dari layar smartphone.
Ruang yang begitu besar di jagad maya itu memiliki dua sisi mata pedang. Bagi yang bijak, internet sangat membantu aktivitas sehari-hari. Namun, tak jarang pula yang terjerumus ke kegiatan negatif dan merugikan gara-gara internet. Misalnya, investasi bodong.
Jogiyanto pada jurnalnya yang berjudul Teori Porotofolio dan Analisis Investasi, mengartikan investasi sebagai penundaan konsumsi sekarang untuk digunakan di dalam produksi yang efisien selama periode waktu yang tertentu.
Didukung dengan berkembangnya teknologi saat ini, sarana berinvestasi semakin mudah diakses. Dapat dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Kemajuan teknologi dalam dunia investasi itu, menjadi peluang jahat bagi sebagian orang untuk membuka bisnis investasi bodong.
Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total nilai kerugian investasi bodong selama periode 2021-2022 mencapai Rp117,5 trilun. Jumlah yang sangat fantastis.
Kalau sudah begitu, bagaimana proses pengembalian dananya? Hampir dipastikan uang sulit kembali karena uangnya sudah digunakan.
--
Di Indonesia kasus investasi bodong saat ini semakin marak dilakukan. Apalagi, di tengah ekonomi masyarakat yang menurun akibat dampak dari pandemi covid-19 yang sudah dua tahun lebih.
Investasi bodong ini menawarkan keuntungan yang menggiurkan dalam jangka waktu singkat. Tanpa berpikir panjang, banyak masyarakat yang terjerumus.
Pandemi memang menghancurkan ekonomi. Pasar modal jadi pilihan untuk mengamankan uang simpanan. Menurut data KSEI yang dimuat pada terkininews pada 30 Desember 2021, jumlah investor baru di pasar modal Indonesia meningkat sebanyak 92,7 persen menjadi 7,48 juta investor per Desember 2021.
Jumlah ini telah meningkat hampir 7 kali lipat dibanding 2017. Menariknya, investor didominasi kalangan ibu rumah tangga (IRT), pelajar, mahasiswa, hingga pegawai.
Bergabungnya masyarakat menjadi investor ini sendiri disebabkan oleh beberapa hal yaitu, literasi di Indonesia rendah, mudah terpengaruh terhadap hal yang belum diketahui kelegalan dan kelogisannya dan mudah tergiur terhadap hal-hal yang instan.
Banyak masyarakat yang menjadi investor tanpa memperhatikan latar belakang dari perusahaan investasinya, sehingga masyarakat acuh tak acuh terhadap informasi yang ada.
Hal itu membuktikan kurangnya literasi yang dimiliki oleh masyarakat dilihat dari meningkatnya jumlah investor di Indonesia. Minimnya literasi di Indonesia ini terbukti dimana menurut survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 yang dimuat pada KemenkoPMK pada 19 November 2021.